Fabianus
Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, 3 petani miskin dari Beteleme,
berjalan ratusan kilometer menuju Poso dengan misi menyelamatkan puluhan anak
asrama, pastor, dan suster setelah mendengar kabar bahwa gereja Santa Theresia
mau diserang.
Setibanya
di gereja, mereka berhasil menyelamatkan pastor, suster, dan anak-anak asrama
dari amukan kelompok putih[1].
Gereja Santa Theresia hangus dilalap api. Tetapi di balik itu ada pihak-pihak
lain yang bergembira. Mereka berhasil menjebak Fabianus Tibo, dkk dalam sebuah perangkap besar. Fabianus Tibo, Dominggus da
Silva, dan Marinus Riwu dituduh
menjadi otak di balik
terjadinya kerusuhan Poso. Mereka diancam dibunuh oleh panglima perang Pasukan
Merah[2],
Paulus Tungkanan. Akhirnya setelah didesak mereka menyerahkan diri kepada
tentara, bukan polisi, dan diadili tanpa saksi yang bersih.
Mereka
yang tidak bisa membaca dan menulis harus diperiksa dan dipaksa tanda tangan
tanpa didampingi oleh pengacara. Kesaksian mereka ditolak oleh para petinggi
hukum, dibentak hakim agar mengaku salah, dan akhirnya divonis hukuman mati.
Pengadilan
tinggi, Mahkamah Agung, Presiden, Wakil Presiden, Kapolri, Jaksa Agung, semua
senada untuk menolak peninjauan kembali tentang kasus Tibo, dkk, Pokoknya MATI
!! Kapolri memecat Kapolda Sulawesi Tengah, Oegroseno,seorang pemberani yang
menjadi korban di balik pengadilan sesat bangsa ini setelah berusaha keras
untuk melepaskan Tibo dkk dari hukuman mati.
Kota
Poso gelap gulita, dunia menangis. Mereka berorasi, berdemo, mengumpulkan tanda
tangan, tapi apa yang di dapat? Penguasa negeri telah buta, hatinya terpasang
perisai besi. Hukuman mati telah menjadi keputusan akhir di balik canda tawa
pihak yang tak bertanggung jawab.
Yesus
Kristus tak tinggal diam. Ia meneguhkan Dominggus da Silva. Novena diajarkan
Bunda Maria kepada Marinus, dan Roh Kudus turun ke ruang isolasi Fabianus Tibo.
Hati ketiga terpidana mati menjadi tenang, tak ada dendam maupun sesal yang di
dapat.
Saat
itu, Jumat dini hari, tiga regu tembak pencabut nyawa bersiap menggiring tiga
orang tak berdaya ke tempat pembantaian. Timah panas telah dihujamkan, mereka
disiksa dan dibunuh, terjatuh ke tanah tanpa nyawa. “Tuhan, ampunilah
mereka,” sebuah untaian kalimat yang
terucap dari mulut Marinus Riwu. Kata-kata yang mirip dengan kata-kata yang
diucapkan Yesus dari atas kayu salib. Begitu pula dengan Marinus Riwu,
kata-kata itu ia ucapkan ketika berada di atas bangku eksekusi, sesaat sebelum
menjelang ajalnya.
Mereka
telah wafat pada hari Jumat sebagai Martir Suci. 40 hari setelah peristiwa pembantaian jatuh
tepat pada Hari Semua Orang Kudus. Penyaliban Yesus yang terjadi 2000 tahun
yang lalu, kembali terulang pada zaman ini lewat diri mereka.
Demikianlah sekilas peristiwa kronologis
yang terjadi di balik kasus eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva,
dan Marinus Riwu. Sebagai penganut agama Katolik yang taat, mereka berani untuk
memperjuangkan iman mereka dibalik kasus kerusuhan yang terjadi di kota Poso. Mereka divonis sebagai otak dari kerusuhan tersebut
dan akhirnya dihukum mati. Eksekusi mati Fabianus Tibo, Cs yang dikeluarkan
oleh pemerintah Republik Indonesiatelah mengundang banyak kontroversial yang perlu untuk ditelaah.
Martir yang merupakan terjemahan dari kata
Martyr (Inggris), Martur = martus, marturos (Latin, Yunani) adalah orang yang dihukum mati
karena mempertahankan iman Kristen, patuh terhadap hukum Gereja serta
mempertahankan kebenaran agama.[3]
Pada dasarnya setiap orang memiliki
jiwa sebagai martir, tetapi mereka cenderung mencari rasa aman sehingga lebih
memilih merelakan imannya daripada mati untuk mempertahankan iman mereka.
Tetapi banyak orang telah mati sebagai martir. Mereka memiliki rasa cinta yang
mendalam terhadap iman yang mereka yakini sehingga sungguh-sungguh berani untuk
meneteskan darah dan mati demi memperjuangkan imannya. Dari banyak martir
tersebut, banyak pula martir yang belum teridentifikasi dan terkesan diabaikan
begitu saja padahal kisah hidup mereka dapat menginspirasi banyak orang untuk
belajar memperjuangkan iman pada zaman sekarang ini. Munculnya rasa kemartiran
dalam diri para martir disebabkan karena mereka memang memiliki sebuah
kedekatan yang mendalam dengan Tuhan sehingga berani merelakan nyawanya sendiri
untuk mempertahankan imannya.
Hampir enam tahun sudah peristiwa “penyaliban” Tibo,
cs terjadi. Hati penulis terasa terpukul ketika kasus ini sepertinya dibiarkan
begitu saja oleh pemerintah. Tidak ada evaluasi khusus yang berkaitan dengan
hal ini. “Saya yakin betul mereka tidak
bersalah dan kini berada di Surga,” Perkataan dari Romo Jimmy Tumbelaka, Pr sebagai
pembimbing rohani Fabianus Tibo dkk itulah yang semakin menguatkan kebenaran yang terjadi di balik kasus eksekusi mati Fabianus
Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu.
Fabianus
Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu telah berpulang kepada Allah di
Surga. Mereka telah menunaikan tugasnya di dunia dengan baik. Mereka yang tidak
tahu-menahu tentang kekerasan, telah dituduh dan dihukum mati oleh kekejaman
dunia politik di tanah ini. Ketegakan hukum di Negara Indonesia belumlah setegak bendera
Merah-Putih yang selalu berkibar di Istana Kepresidenan. Aneka penggelapan dan rekayasa
di sana-sini telah membutakan mata
hati para aparat hukum untuk hidup bersih dalam proses pengadilan. Kasus
Fabianus Tibo, dkk hanya salah satu kasus yang muncul dari sedemikian banyaknya
kasus yang tidak beres diselesaikan
dengan objektif dalam dunia peradilan Indonesia. Biarlah kasus ini
menjadi pelajaran yang berharga bagi masyarakat Indonesia. Fabianus Tibo, Dominggus
da Silva, dan Marinus Riwu menghadapi kematian tanpa dendam dan marah. Mereka
ikhlas menjadi korban rekayasa, bukan karena mereka bersalah, tapi karena
mereka tahu bahwa Tuhan telah merencanakan yang terindah untuk mereka.
Ketulusan hati ketiga terpidana mati telah memberikan inspirasi bagi banyak
orang untuk tetap kuat dan tegar menghadapi situasi yang ada. Mereka berani
berkorban sekalipun harus merelakan nyawa mereka kepada regu penembak.
Kasus
ini merupakan cermin dari ketidakberesan dalam proses peradilan di Indonesia.
Mereka telah memberikan pelajaran yang sungguh-sungguh berharga kepada seluruh
elemen masyarakat, kecuali jika para pemimpin bangsa beserta aparatnya tetap
menutup mata kepada setiap kasus yang merugikan orang-orang yang sesungguhnya
tidak bersalah. Indonesia
telah merdeka dengan segala perjuangannya, namun kemerdekaan itu seakan sirna
ketika para pemimpin bangsa tidak mempedulikan rakyat kecil yang tidak memiliki
kekuatan untuk tetap bertahan. Menuntut balas adalah sesuatu yang percuma.
Kematian ketiga terpidana mati telah memberi penjelasan bahwa mereka adalah
cermin dari ketidakberdayaan masyarakat kaum bawah terhadap kekuasan yang sulit
ditembus, sekalipun itu menyangkut kebenaran. Kasus eksekusi mati Fabianus
Tibo, cs telah menggugah banyak orang untuk melihat yang sesungguhnya di balik
jeruji besi dunia peradilan Indonesia.
Mereka adalah martir yang tak kunjung padam semangat dan perjuangnnya. Darah
mereka telah mewarnai atau lebih tepatnya menodai dunia peradilan Indonesia,
bukan karena mereka yang salah, tetapi karena aparat hukum sendiri yang telah
menodai wajahnya sendiri dengan tindakan tak berkeprimanusiaan kepada ketiga
martir dari Poso. Dunia peradilan Indonesia telah menjadi ladang
empuk bagi penguasa negeri ini untuk terus menunjukkan eksistensinya. Fabianus
tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu telah menuangkan darah-Nya untuk
sepercik keadilan di Indonesia.
[1] Sekelompok massa
yang sering diidentifikasikan sebagai kelompok fanatik Islam di Poso. Kelompok
ini bercirikan kain putih yang diikat di kepala dan pergelangan tangan para
anggotanya.
[2] Sekumpulan massa
yang sering diidentifikasikan sebagai
kelompok fanatik Kristen di Poso. Kelompok ini menjebak Fabianus Tibo untuk
terlibat dalam penyerangan terhadap kelompok putih.
3 comments:
Yesus anjink SALIBIS GUA ORANG ISLAM LOE JANGAN BANYAK BACOT MEREKA ADALAH BUDAK IBLIS ANJINK LIHAT LOE KLO SOLAT CUMAN NYANYI NYANYI AJA KIRIK
mampuus loe
Blog tai ayam, busuk baunya, begitu juga blogger-nya.
Post a Comment