Revolusi Menerjang Burung Bangkai

“Saya adalah seorang pemimpin. Saya merampas, memperkosa, membakar, dan membunuh dengan kekuasaan saya. Saya mencuri pajak mereka, merampas tanahnya, tetapi para idiot itu akan tetap mendukung saya”.

Indonesia di Bawah SBY

Saat ini bangsa Indonesia pun sedang dipimpin oleh seorang Jenderal yang tidak memiliki kewibawaan penuh sebagai presiden. Tidak ada kebijakan yang berani dari presiden yang membela kaum kecil dan lemah. Lalu?

INDONESIA

Sebuah negeri yang kaya segala-galanya, termasuk dengan sejarahnya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki integritas kuat di kancah dunia. Kenyataannya?

GIE

Mengurai Isi Hati Soe Hok Gie (Berdasarkan Puisi Sebuah Tanya)

Quo Vadis Indonesia?

Pemimpin, Solusi Memajukan Indonesia

Sunday, April 1, 2012

Negosiasi Mahasiswa dengan Polisi Tercipta di SIipi

Suasana Negosiasi Mahasiswa dengan Polisi di Slipi (30/3)
Para mahasiswa yang berdemonstrasi di depan gedung DPR/MPR dipaksa mengakhiri aksi unjuk rasa dengan gas air mata yang dilepaskan oleh pihak aparat kepolisian. Massa yang pergi meninggalkan gedung DPR/MPR tidak segera kembali ke rumah masing-masing melainkan melakukan unjuk rasa di jalan-jalan arteri sekitar Slipi maupun jalan arteri ke arah Sudirman.

Di daerah Slipi, mahasiswa sempat bentrok dengan pihak aparat dari Polres Jakarta Barat. Banyaknya warga yang berada di sekitar lokasi membuat bentrok sempat terhenti karena para mahasiswa dan beberapa wartawan membantu para pedagang membereskan barang dagangannya.

Namun ketika sedang membantu warga, aparat kepolisian maju menyerang massa yang tidak siap. Melihat tindakan polisi tersebut para mahasiswa melakukan serangan balik dengan melemparkan batu ke arah aparat. Bentrokan tidak lama terjadi karena ada negosiasi antara mahasiswa dengan pihak aparat dan warga. Negosiasi berjalan dengan baik sehingga bentrok antara polisi dan mahasiswa tidak menjadi besar.

Inilah sebenarnya yang diharapkan dari aksi demonstrasi massa. Pihak aparat membuka diri untuk mendengar aspirasi dari para demonstran. Apa yang telah dilakukan oleh Polres Jakarta Barat mencerminkan sikap polisi yang patut diapresiasi. Tidak hanya menggunakan gas air mata atau water canon, aparat juga menggunakan media negosiasi untuk mentertibkan, jadi tidak ada kesalahpahaman antara polisi dengan para demonstran.

Saturday, March 31, 2012

Demonstrasi Besar-Besaran di Gedung DPR

Para Demonstran di depan gedung DPR (30/3/2012)
Sudah beberapa hari ini para mahasiswa dari berbagai universitas menggelar aksi demonstrasi bersama para buruh dan elemen masyarakat. Hari Jumat, 30 Maret 2012 adalah demonstrasi terbesar setelah di kota Jakarta setelah di Gambir, Salemba, dan tempat-tempat lainnya terkait penolakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Demonstrasi ini digelar di depan gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta.
 
Para demonstran menerikan yel-yel dalam berorasi. Mereka berhasil memasuki wilayan depan gedung rakyat yang dijaga ribuan aparat. Dari pagi hingga malam hari para demonstran terus berusaha merangsek masuk ke dalam gedung.

Di sela-sela unjuk rasa, anggota fraksi PDI-P, Rieke Dyah Pitaloka dan politisi PKS, Indra SH bergabung dengan para demonstran dan berorasi menolak kenaikan harga BBM. "Saya bangga pada kalian yang peduli pada rakyat kecil Indonesia. Kalian tidak hanya memperjuangkan UMK dan UPK, perjuangkan kesejahteraan rakyat karena perjuangan UMK dan UPK akan sia-sia jika BBM naik," ujar Indra.

"Saya menyesalkan tindakan pemerintah yang tidak peduli terhadap masyarakat kecil, yang menaikkan harga BBM. Kita siap mogok massal. Buruh, masyarakat dan mahasiswa akan melakukan mogok massal jika harga BBM naik," kata Rieke.

Kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM memang menuai banyak kritik karena tidak didasari alasan yang sungguh rasional. Apakah ini hanya permainan politik dari para pejabat negara yang sedang berkuasa?

Wednesday, March 21, 2012

Moralitas Indonesia


Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI
Hampir enam puluh tujuh tahun Indonesia merdeka, namun situasi negeri tidak ubahnya pada zaman penjajahan. Neo-kolonialisme merambah politik Indonesia, semua berlomba-lomba mendapatkan hasil semaksimal mungkin tanpa memandang rakyat yang semakin hari semakin menderita. Rakyat yang memegang kedaulatan penuh dalam bangsa ini seolah-olah bertekuk lutut di hadapan para pemegang kekuasaan dalam berbagai bidang pemerintahan, baik itu eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Mungkin masih ada pejabat yang bersih dari permainan politik, namun hal itu tidak dapat menutupi kebobrokan dalam pemerintah yang semakin parah. Kini korupsi menjadi barang biasa. Para pejabat yang tertangkap seolah tidak memiliki malu. Mereka justru berkoar-koar ingin tetap berada pada jabatannya. Apa hati nurani bangsa ini sudah mati? Di manakah hati nuranimu hai para pejabat? Di saat rakyat kesulitan untuk mendapatkan kelayakan hidup, justru engkau dengan senang hati berfoya-foya menghabiskan uang rakyat.
Saat ini bangsa Indonesia pun sedang dipimpin oleh seorang Jenderal yang tidak memiliki kewibawaan penuh sebagai presiden. Tidak ada kebijakan yang berani dari presiden yang membela kaum kecil dan lemah. Bila dilihat, presiden seperti sedang disetir oleh oknum-oknum tertentu yang berada dalam partai. Sekarang partai memang menjadi kendaraan politik yang strategis dalam meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dalam memperkaya diri.  Keadaan politik Indonesia sedang berada dalam titik terendah dalam moralitas dan kemanusiaan.
Bagaimana memperbaikinya (?)
Untuk situasi yang sedang chaos seperti ini, memang sulit dalam memilih solusi yang tepat, efisien, dan strategis. Namun jika rakyat sungguh menginginkan perubahan yang signifikan salah satu cara adalah dengan melakukan revolusi besar-besaran dalam tubuh pemerintahan. Presiden harus berani bertanggung jawab atas segala kekacauan yang telah terjadi. Presiden dan para pejabat yang memang tidak memiliki kompetensi dalam bidangnya harus berani untuk mundur karena gagal dalam memajukan bangsa ini. Jika tidak berani mundur, maka rakyat yang akan menuntut mereka mundur karena kedaulatan dipegang teguh oleh rakyat.
Secara sistematis, rakyat memang diwakili oleh para pejabat dalam DPR, namun situasi saat ini pun DPR tidak dapat menjalankan tugas dengan baik. Jika demikian yang terjadi maka rakyat harus berani turun ke jalan untuk melakukan sebuah perubahan yang mendasar. Tragedi 1998 menjadi contoh yang sangat relevan bila diinginkan pemerintahan yang baru. Namun yang perlu dicatat adalah perencanaan setelah terjadinya pembaharuan. Jangan sampai pemerintahan di kemudian hari pun sama seperti yang terjadi setelah reformasi 1998.
Berbagai kasus korupsi yang terdapat dalam pemerintahan jelas menjadi proyeksi bagaimana pemerintah tidak menjalankan amanah sebagaimana mestinya. Rakyat sudah muak dan lelah melihat realita yang menujukkan kerendahan moral para pejabat. Jika hal ini terjadi terus-menerus bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami kekacauan dan pemerintah justru semakin hancur oleh bumerang yang diluncurkannya sendiri. Maka dari itu semoga pemerintah sadar akan realita ini dan berani untuk mundur... beri kesempatan pada yang sungguh kompeten di bidangnya.

Monday, February 27, 2012

PEMERINTAH DAN KONFLIK DI INDONESIA



Di Indonesia, konflik menjadi sesuatu yang sangat sering sekali terjadi. Maklum sebagai manusia yang mempunyai ideologi yang berbeda-beda pastilah masing-masing pribadi berusaha untuk mewujudkan ideologinya. Usaha manusia itu seringkali menimbulkan ketidaksesuaian dari pribadi lain yang merasa terancam atas usaha orang lain tersebut. Ketidaksesuaian antara kedua individu maupun kelompok tersebut menimbulkan konflik yang pasti berujung pada kerugian di salah satu pihak.Namun, berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah konflik tesebut. Setiap individu pasti pernah mengalami konflik, entah sebagai subjek maupun sebagai objek penderita. Namun, seringkali konflik yang terjadi tidak kita sadari sebagai sebuah kekerasan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Kekerasan berarti perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[1] Konflik dapat mengakibatkan banyak dampak bagi pelaku maupun orang lain. Menjadi sebuah keuntungan bagi pihak yang menang, namun bagi pihak yang kalah, konflik menjadi sebuah malapetaka. Lebih buruknya lagi bila konflik tersebut telah memberikan kerugian yang cukup besar bagi mereka yang tidak bersalah. Tetapi, secara umum, konflik adalah perbuatan yang buruk dan tidak patut untuk dilakukan. Sekalipun pihak yang menang itu merasa bangga atas tindakannya, hal ini tidak menjamin bahwa dirinya secara bersih selamat dari luka fisik maupun psikis.
Konflik di Indonesia telah menjadi makanan sehari-hari yang selalu bisa “dinikmati” oleh masyarakat. Tidak hanya dari lapisan bawah, konflik juga sering terjadi di antara para pemimpin bangsa. Contohnya adalah konflik yang terjadi antara Polisi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terjadi beberapa waktu lalu. Konflik ini telah membuka tabir bahwa di kalangan aparat hukum pun, proses pelanggaran hukum bisa terjadi. Usaha pemerintah untuk meluruskan konflik ini seakan menjadi boomerang sendiri karena dengan terbukanya kasus konflik antara polisi dengan KPK terbukalah kebobrokan yang selama ini terjadi dalam birokrasi pemerintahan Indonesia. 
Belum lama ini, masyarakat juga diserbu kabar dari media massa mengenai konflik kepentingan dalam tubuh partai Demokrat yang berlandaskan masalah korupsi. Tidak hanya partai Demokrat, berbagai konflik juga terjadi dalam pemerintahan secara menyeluruh, baik itu eksekutif, yudikatif, ataupun legislatif.
Konflik di Indonesia juga terjadi dalam elemen masyarakat bawah. Hal ini dikarenakan pandangan masyarakat Indonesia yang masih sempit atas keberadaannya sebagai anggota Negara  yang berbeda ragamnya. Contohnya saja konflik yang terjadi di Poso beberapa tahun yang lalu. Kasus kerusuhan yang terjadi antara kaum muslim dan nasrani ini lebih memperlihatkan ketidakdewasaan masyarakat Indonesia yang terlalu egois dengan kepentingannya sendiri. Usaha pemerintah untuk menanggulangi masalah ini juga tidak begitu baik. Aparat keamanan selaku penengah justru menjadi ancaman baru bagi kedua belah pihak. Tindakan polisi dan TNI yang semena-mena dan melanggar HAM menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap peran pemerintah dalam menyelesaikan konflik. Misalnya saja ketika aparat keamanan membunuh warga sipil yang tidak terlibat dalam kasus kekerasan di Poso dan yang terbaru adalah di Mesuji. Mungkin kasus konflik di Poso dan Mesuji adalah sepercik kasus dari sekian banyak konflik yang terjadi di bumi Indonesia ini. Pemerintah belum sepenuhnya mengambil peran yang sungguh-sunggu baik dalam mengupayakan penyelesaian konflik. Seharusnya, pemerintah melihat dahulu akar penyebab masalah konflik, setelah itu baru menyusun strategi unutuk menyelesaikan konflik yang berkecamuk.
Konflik di Indonesia telah menimbulkan luka bagi sebagian masyarakat, terutama yang mengalami sendiri konflik tersebut. Ribuan jiwa telah hilang seiring dengan serentetan peristiwa konflik yang terjadi dari tahun ke tahun. Rupanya, pemerintah pun belum terlalu tanggap dengan konflik-konflik yang ada. Penanganan yang dilakukan pemerintah belum memberikan kepuasan yang maksimal dalam masyarakat. Kita bisa mengambil contoh bahwa peran polisi sesunggunya adalah sebagai pengayom masyarakat. Tetapi pandangan masyarakat sendiri terhadap polisi sudah mencerminkan adanya ketidakpercayaan kepada pihak kepolisian, meskipun pandangan ini tidak bisa dipukul rata terhadap semua masyarakat di Indonesia.
Dari waktu ke waktu, konflik dirasakan sebagai suatu yang biasa. Masyarakat sudah terlalu bosan dengan situasi yang terjadi dalam birokrasi pemerintahan ssat ini. Pasti ada saja masalah yang timbul dari para pemimpin bangsa dan aparatnya. Masalah korupsi yang telah menjamur menjadi masaslah yang tak kunjung bisa diselesaikan dengan baik. Rupanya para pemegang kekuasaan tidak bisa lagi dikatakan sebagai pengayom masyarakat yang adil. Mentalitas mereka terbentuk sebagai seorang yang haus akan kekuasaan, sampai-sampai dalam proses penyelesain konflik di elemen masyarakat bawah, beberapa penguasa n egara menggunakan konflik itu sebagai lading yang subur untuk memperkaya diri. Konflik yang terjadi di Indonesia tak lepas dari masalah-masalah yang terjadi dalam pemerintahan. Para penguasa berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari konflik yang berkecamuk, seperti yang terjadi dalam kasus kerusuhan di Poso di mana beberapa pejabat terbukti melakukan korupsi atas dana yang seharusnya menjadi hak dari para korban konflik.
Konflik di Indonesia pasti akan terus bermunculan. Yang dibutuhkan saat ini adalah kesadaran dari para pejabat pemerintahan yang sungguh-sungguh menjalankan perannya sebagai wakil rakyat dan penengah di dalamnya. Sudah banyak konflik di Indonesia berjalan tanpa disertai penyelesaian yang baik. Pemerintah harus sungguh-sungguh mengamalkan janjinya. Konflik akan terus bermunculan dan pemerintah diharapkan dapat menyelesaikan konflik-konflik tersebut, tentu dengan bantuan dari masyarakat sendiri. Sudah cukup Indonesia sebagai Negara merdeka mempunyai birokrasi pemerintahan yang buruk dengan segala tindakanya. Sekarang saatnya Indonesia bangkit. Lewat generasi penentu bangsa saat ini, mari merubah Indonesia menjadi negeri yang lebih beradab dan merdeka!



[1] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Depdiknas.1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia .Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Hal 425

Sepercik Tentang Eksekusi Mati Tibo, cs

Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, 3 petani miskin dari Beteleme, berjalan ratusan kilometer menuju Poso dengan misi menyelamatkan puluhan anak asrama, pastor, dan suster setelah mendengar kabar bahwa gereja Santa Theresia mau diserang.
Setibanya di gereja, mereka berhasil menyelamatkan pastor, suster, dan anak-anak asrama dari amukan kelompok putih[1]. Gereja Santa Theresia hangus dilalap api. Tetapi di balik itu ada pihak-pihak lain yang bergembira. Mereka berhasil menjebak Fabianus Tibo, dkk dalam sebuah  perangkap besar. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dituduh
menjadi otak di balik terjadinya kerusuhan Poso. Mereka diancam dibunuh oleh panglima perang Pasukan Merah[2], Paulus Tungkanan. Akhirnya setelah didesak mereka menyerahkan diri kepada tentara, bukan polisi, dan diadili tanpa saksi yang bersih.
Mereka yang tidak bisa membaca dan menulis harus diperiksa dan dipaksa tanda tangan tanpa didampingi oleh pengacara. Kesaksian mereka ditolak oleh para petinggi hukum, dibentak hakim agar mengaku salah, dan akhirnya divonis hukuman mati.
Pengadilan tinggi, Mahkamah Agung, Presiden, Wakil Presiden, Kapolri, Jaksa Agung, semua senada untuk menolak peninjauan kembali tentang kasus Tibo, dkk, Pokoknya MATI !! Kapolri memecat Kapolda Sulawesi Tengah, Oegroseno,seorang pemberani yang menjadi korban di balik pengadilan sesat bangsa ini setelah berusaha keras untuk melepaskan Tibo dkk dari hukuman mati.
Kota Poso gelap gulita, dunia menangis. Mereka berorasi, berdemo, mengumpulkan tanda tangan, tapi apa yang di dapat? Penguasa negeri telah buta, hatinya terpasang perisai besi. Hukuman mati telah menjadi keputusan akhir di balik canda tawa pihak yang tak bertanggung jawab.
Yesus Kristus tak tinggal diam. Ia meneguhkan Dominggus da Silva. Novena diajarkan Bunda Maria kepada Marinus, dan Roh Kudus turun ke ruang isolasi Fabianus Tibo. Hati ketiga terpidana mati menjadi tenang, tak ada dendam maupun sesal yang di dapat.
Saat itu, Jumat dini hari, tiga regu tembak pencabut nyawa bersiap menggiring tiga orang tak berdaya ke tempat pembantaian. Timah panas telah dihujamkan, mereka disiksa dan dibunuh, terjatuh ke tanah tanpa nyawa. “Tuhan, ampunilah mereka,”  sebuah untaian kalimat yang terucap dari mulut Marinus Riwu. Kata-kata yang mirip dengan kata-kata yang diucapkan Yesus dari atas kayu salib. Begitu pula dengan Marinus Riwu, kata-kata itu ia ucapkan ketika berada di atas bangku eksekusi, sesaat sebelum menjelang ajalnya.
Mereka telah wafat pada hari Jumat sebagai Martir Suci.  40 hari setelah peristiwa pembantaian jatuh tepat pada Hari Semua Orang Kudus. Penyaliban Yesus yang terjadi 2000 tahun yang lalu, kembali terulang pada zaman ini lewat diri mereka.

Demikianlah sekilas peristiwa kronologis yang terjadi di balik kasus eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Sebagai penganut agama Katolik yang taat, mereka berani untuk memperjuangkan iman mereka dibalik kasus kerusuhan yang terjadi di kota Poso. Mereka  divonis sebagai otak dari kerusuhan tersebut dan akhirnya dihukum mati. Eksekusi mati Fabianus Tibo, Cs yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesiatelah mengundang banyak kontroversial yang perlu untuk ditelaah.
Martir yang merupakan terjemahan dari kata Martyr (Inggris), Martur = martus, marturos (Latin, Yunani) adalah orang yang dihukum mati karena mempertahankan iman Kristen, patuh terhadap hukum Gereja serta mempertahankan kebenaran agama.[3]
Pada dasarnya setiap orang memiliki jiwa sebagai martir, tetapi mereka cenderung mencari rasa aman sehingga lebih memilih merelakan imannya daripada mati untuk mempertahankan iman mereka. Tetapi banyak orang telah mati sebagai martir. Mereka memiliki rasa cinta yang mendalam terhadap iman yang mereka yakini sehingga sungguh-sungguh berani untuk meneteskan darah dan mati demi memperjuangkan imannya. Dari banyak martir tersebut, banyak pula martir yang belum teridentifikasi dan terkesan diabaikan begitu saja padahal kisah hidup mereka dapat menginspirasi banyak orang untuk belajar memperjuangkan iman pada zaman sekarang ini. Munculnya rasa kemartiran dalam diri para martir disebabkan karena mereka memang memiliki sebuah kedekatan yang mendalam dengan Tuhan sehingga berani merelakan nyawanya sendiri untuk mempertahankan imannya.
             Hampir enam tahun sudah peristiwa “penyaliban” Tibo, cs terjadi. Hati penulis terasa terpukul ketika kasus ini sepertinya dibiarkan begitu saja oleh pemerintah. Tidak ada evaluasi khusus yang berkaitan dengan hal ini. “Saya yakin betul mereka tidak bersalah dan kini berada di Surga,”  Perkataan dari Romo Jimmy Tumbelaka, Pr sebagai pembimbing rohani Fabianus Tibo dkk itulah yang semakin menguatkan  kebenaran yang terjadi di balik kasus eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. 
Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu telah berpulang kepada Allah di Surga. Mereka telah menunaikan tugasnya di dunia dengan baik. Mereka yang tidak tahu-menahu tentang kekerasan, telah dituduh dan dihukum mati oleh kekejaman dunia politik di tanah ini. Ketegakan hukum di Negara Indonesia belumlah setegak bendera Merah-Putih yang selalu berkibar di Istana Kepresidenan. Aneka penggelapan dan rekayasa di sana-sini telah membutakan mata hati para aparat hukum untuk hidup bersih dalam proses pengadilan. Kasus Fabianus Tibo, dkk hanya salah satu kasus yang muncul dari sedemikian banyaknya kasus yang tidak beres diselesaikan dengan objektif dalam dunia peradilan Indonesia. Biarlah kasus ini menjadi pelajaran yang berharga bagi masyarakat Indonesia. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu menghadapi kematian tanpa dendam dan marah. Mereka ikhlas menjadi korban rekayasa, bukan karena mereka bersalah, tapi karena mereka tahu bahwa Tuhan telah merencanakan yang terindah untuk mereka. Ketulusan hati ketiga terpidana mati telah memberikan inspirasi bagi banyak orang untuk tetap kuat dan tegar menghadapi situasi yang ada. Mereka berani berkorban sekalipun harus merelakan nyawa mereka kepada regu penembak.
Kasus ini merupakan cermin dari ketidakberesan dalam proses peradilan di Indonesia. Mereka telah memberikan pelajaran yang sungguh-sungguh berharga kepada seluruh elemen masyarakat, kecuali jika para pemimpin bangsa beserta aparatnya tetap menutup mata kepada setiap kasus yang merugikan orang-orang yang sesungguhnya tidak bersalah. Indonesia telah merdeka dengan segala perjuangannya, namun kemerdekaan itu seakan sirna ketika para pemimpin bangsa tidak mempedulikan rakyat kecil yang tidak memiliki kekuatan untuk tetap bertahan. Menuntut balas adalah sesuatu yang percuma. Kematian ketiga terpidana mati telah memberi penjelasan bahwa mereka adalah cermin dari ketidakberdayaan masyarakat kaum bawah terhadap kekuasan yang sulit ditembus, sekalipun itu menyangkut kebenaran. Kasus eksekusi mati Fabianus Tibo, cs telah menggugah banyak orang untuk melihat yang sesungguhnya di balik jeruji besi dunia peradilan Indonesia. Mereka adalah martir yang tak kunjung padam semangat dan perjuangnnya. Darah mereka telah mewarnai atau lebih tepatnya menodai dunia peradilan Indonesia, bukan karena mereka yang salah, tetapi karena aparat hukum sendiri yang telah menodai wajahnya sendiri dengan tindakan tak berkeprimanusiaan kepada ketiga martir dari Poso. Dunia peradilan Indonesia telah menjadi ladang empuk bagi penguasa negeri ini untuk terus menunjukkan eksistensinya. Fabianus tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu telah menuangkan darah-Nya untuk sepercik keadilan di Indonesia.

 

[1] Sekelompok massa yang sering diidentifikasikan sebagai kelompok fanatik Islam di Poso. Kelompok ini bercirikan kain putih yang diikat di kepala dan pergelangan tangan para anggotanya.
[2] Sekumpulan massa yang  sering diidentifikasikan sebagai kelompok fanatik Kristen di Poso. Kelompok ini menjebak Fabianus Tibo untuk terlibat dalam penyerangan terhadap kelompok putih.
[3] Kamus kata serapan, Martinus Surawan. Gramedia Pustaka Utama:Jakarta.2001