Revolusi Menerjang Burung Bangkai

“Saya adalah seorang pemimpin. Saya merampas, memperkosa, membakar, dan membunuh dengan kekuasaan saya. Saya mencuri pajak mereka, merampas tanahnya, tetapi para idiot itu akan tetap mendukung saya”.

Indonesia di Bawah SBY

Saat ini bangsa Indonesia pun sedang dipimpin oleh seorang Jenderal yang tidak memiliki kewibawaan penuh sebagai presiden. Tidak ada kebijakan yang berani dari presiden yang membela kaum kecil dan lemah. Lalu?

INDONESIA

Sebuah negeri yang kaya segala-galanya, termasuk dengan sejarahnya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki integritas kuat di kancah dunia. Kenyataannya?

GIE

Mengurai Isi Hati Soe Hok Gie (Berdasarkan Puisi Sebuah Tanya)

Quo Vadis Indonesia?

Pemimpin, Solusi Memajukan Indonesia

Sunday, May 19, 2013

Hari Kamis untuk Keadilan


”Hidup Korban! Jangan diam! Hidup Korban! Lawan! Jangan diam!”
Teriakan-teriakan menuntut keadilan menggema di depan Istana Negara sore itu. Beberapa orang berpakaian hitam dengan atribut-atributnya tampak berkumpul, berorasi, dan berefleksi. Foto-foto digelar, payung-payung bertuliskan keadilan erat digenggam, sorot mata tertuju pada bayang sang Presiden. 

Cuaca sedikit mendung, langit gelap, tapi tak sedikit pun memadamkan semangat para pejuang keadilan ini. Mereka adalah para para aktivis dan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu. Semboyan “Menolak Lupa” adalah roh yang diangkat. Hari Kamis dipilih menjadi hari keramat untuk mendobrak tirani kekuasaan. Tragedi 65, tragedi Talangsari, tragedi Tanjung Priok, tragedi 27 Juli 1996, tragedi Penculikan, tragedi Trisakti, tragedi Mei 1998, tragedi Semanggi I, tragedi Semanggi II, dan peristiwa pembunuhan Munir menjadi sekian dari banyaknya pelatuk aksi Kamisan ini.

Seketika mata saya tertuju pada seorang wanita tua berambut putih. Ia tampak kokoh berdiri menghadap istana meski tubuhnya kurus dengan kulit yang sudah mulai keriput. Sayup matanya sudah mulai lebam namun menunjukkan sorot yang tajam. Tingginya tak lebih dari 160 sentimeter dengan dress hitam yang melekat padanya. Sebuah payung hitam bertuliskan “tuntaskan tragedi semanggi II” digenggamnya erat.

“Aksi ini berawal ketika kami para korban dan keluarga korban membentuk Jaringan Solidaritas Korban Untuk Keadilan atau JSKK. Pada saat itu saya dan Ibu Yun Hap berencana mengadakan aksi mengelilingi Bundaran HI setiap minggu. Seiring berjalannya waktu kami memutuskan mengadakan kamisan di depan istana Negara,” ujar Sumarsih, ibunda BR. Norma Irawan, salah satu korban penembakan tragedi 1998 yang sekaligus presidium JSKK. 

 B.R Norma Irawan atau biasa disebut Wawan adalah satu dari sekian banyak korban pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah kepada rakyat sipil. JSKK bersama dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) seringkali mengadakan aksi menuntut keadilan Hak Asasi Manusia di tanah air. Sampai saat ini, masih banyak kasus-kasus yang masih menjadi tanda tanya, tanpa ada kejelasan dari pihak pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Berbeda dengan para aktivis kebanyakan, saat itu ia memakai baju berwarna merah, bersyal abu-abu, dan menggenggam payung bertuliskan “stop impunitas”, berkoar-koar atas nama keadilan. Namanya sangat santer setelah suaminya meninggal dengan penyebab yang tidak jelas. Tidak lain adalah Suciwati, istri dari Munir, seorang pejuang Hak Asasi Manusia di bumi nusantara. 

Ada lagi seorang pria tua, berumur kisaran 70 tahun, memakai baju hitam dan sandal selop khas Jawa. Kulitnya bermandi keriput sawo matang, menggenggam secarik kertas dan berteriak-teriak menghadap istana. Ia bercerita mengenai kisah Bung Karno dan Pak Harto pada jaman Partai Komunis Indonesia, bagaimana keluarganya menjadi korban pembunuhan yang mengatasnamakan pembubaran PKI, menyulut api keadilan di bumi Purworejo. 

Empat puluh lima menit berlalu, aksi berlanjut pada refleksi bersama. Para aktivis dan  korban pelanggaran HAM membuat sebuah lingkaran. Tidak besar, kecil tapi bernyali besar. Hening. Hanya suara kendaraan yang terdengar lalu lalang. Perlahan, semua benar-benar hening. Masing-masing keluarga korban seperti menghadirkan orang-orang yang disayangi, yang mati tanpa ada kelanjutan bukti.

Cahaya matahari mulai temaram. Langit menjadi biru kekuningan. Senja telah datang. Lingkaran kecil itu kini menjadi lingkaran  makna. Semangat atas nama keadilan memancar dalam setiap sorot mata.
“Mari kita tetap menjaga asa untuk memperjuangkan keadilan! Meski tanpa suami saya, kita akan terus berjuang! Saya ingin generasi muda menjadi corong dalam perjuangan HAM di negeri ini! Hidup Korban!” ujar Suciwati.

Badannya tegap, berambut agak cepak, memakai jaket abu-abu dengan kacamata kotak. Dengan tas hitam di pudak,  ia terlihat berbisik dengan Suciwati. Ialah Usman Hamid. Berdiri sebagai garda pelindung keadilan di Indonesia. Bersama kawan-kawan lain berjuang menerobos birokrat demi tegaknya Hak Asasi Manusia. 

Aksi sore itu akhirnya selesai. Semua merapatkan barisan. Langkah kaki menyatu menghadap istana. Sebuah teriakan lantang menggema serempak, ”Hidup Korban! Jangan diam! Hidup Korban! Lawan! Jangan diam!”

Friday, March 22, 2013

KETIKA KNALPOT BERBICARA

SEBUAH PROFIL KOMUNITAS MOTOR BERNAMA GERTAC


“Geraaaaah!!” teriak Abeng, salah satu mekanik salah satu bengkel motor di jalan Borobudur, Perumnas Tangerang. Memang siang itu terik matahari sangat menyengat kulit, ditambah pekerjaan Abeng yang mengharuskannya menguras lebih banyak tenaga. Dua motor asal Jepang mengantri untuk diperbaiki.
Sisa-sisa oli berceceran di teras bengkel, tempat motor-motor itu “dioperasi”, entah hanya servis biasa, ganti oli, sampai turun mesin. Di sudut ruangan khusus spareparts, sebuah knalpot memikat hati Ferry atau yang sering disapa dengan panggilan “Blue”.

“Knalpot siapa nih?” tanya Blue kepada Abeng dengan raut wajah penasaran. “Punya si Dika, yang biasa bawa Tiger ke sini,” jawab Abeng sambil membersihkan karburator dengan angin kompresor.

Blue terus memegang knalpot itu, merasakan getaran keinginan untuk memilikinya. Diraba-raba, dielus-elus, dilihat secara detail dan akhirnya ia memutuskan untuk bertemu dengan Dika, sang pemilik knalpot yang kebetulan tidak berada di bengkel saat itu.

Satu hari Blue menyempatkan diri mencari orang yang bernama Dika itu. Hasilnya nihil. Dika tidak dapat ditemukan. Dua hari, tiga hari, Blue juga tidak dapat bertemu Dika. Satu minggu terlewati akhirnya Blue melihat sosok Dika di bengkel yang sama. Terjadilah transaksi antara pemilik knalpot dan konsumennya. Tanpa diduga, sebuah knalpot mengawali lahirnya sebuah komunitas motor yang disebut sebagai GERTAC (Tiger Thunder Community) Tangerang.
”Ya, Gertac berdiri berawal dari sebuah knalpot. Dika yang punya dan gue yang bayarin tuh knalpot. Padahal knalpotnya juga gak bagus-bagus amat. Dika pake Tiger, gue pake Thunder. Satu lagi ada si Manis di bengkel si Abeng, waktu itu dia pake Thunder,”ujar Blue kepada saya. Manis adalah nama panggilan bagi Ferry Poerna Wijaya yang termasuk ke dalam founder Gertac. Disebut Manis karena konon katanya dia selalu memamerkan senyumnya ketika sedang berbicara.
Malam minggu itu saya bertemu dengan Ferry Blue, Ferry Manis, Dika, dan beberapa member Gertac lainnya di acara kopdar (kopi darat) yang rutin dilaksanakan oleh komunitas ini. Letak lokasi kopdar tidak jauh dari terminal Cibodas, Perumnas II Karawaci Tangerang, tepat di depan salah satu minimarket. Cuaca yang bersahabat semakin memperhangat suasana kopdar. Satu per satu member Gertac berdatangan dengan motor besarnya. Ada yang dari rumah, dari pulang kerja atau dari pulang kuliah. Semuanya berkumpul di satu tempat untuk hobi yang sama.
Pada awalnya, nama Gertac memiliki singkatan Sebelumnya Gerombolan Tiger Thunder Community Tangerang. Tapi setelah beberapa waktu, nama itu mendapat kritik dari Kapolres Tangerang dan beberapa komunitas motor untuk diganti, katanya terlalu vulgar, apalagi dengan kejadian Gangster Motor di Bandung. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya  singkatan Gerombolan Tiger Thunder Community Tangerang, diubah menjadi Tiger Thunder Community Tangerang.
“Deklarasi pendirian Gertac tepat pada tanggal 15 September 2007 dengan mengundang puluhan anak yatim. Kami berusaha untuk memberikan kontribusi pada masyarakat. Jumlah member Gertac tidak banyak, tapi kami mencoba untuk bersama-sama membangun hubungan yang harmonis di lingkungan kami bernaung,” ujar Dika.
Jumlah member Gertac memang tidak banyak. Saat ini secara administratif, Gertac memiliki 41 member dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang masih kuliah, ada pula yang sudah berkeluarga. Tidak seperti stereotipe yang melekat pada anak-anak motor, tidak ada yang berwajah seram di antara member Gertac. Mungkin hanya satu yaitu mas Dwi Birong, tapi ketika berkenalan logat jawanya menghancurkan semua sisi seramnya. Semua member Gertac berwajah bersahabat, mereka berpenampilan apa adanya, entah itu yang berasal dari kota atau desa.

 “Kami tidak menutup kemungkinan bagi siapa pun untuk bergabung dengan Gertac. Asal dia punya motor batangan, apapun merknya, bahkan di luar Tiger dan Thunder, kami menerima dengan senang hati. Bagi kami, motor hanyalah sarana untuk mempererat tali persaudaraan. Fokus utama tetap pada kegiatan menjalin hubungan yang harmonis sesama individu,” kata Freydie, koordinator umum dari Gertac.
Malam semakin larut. Waktu menunjukkan pukul 23.30. Perbincangan kami semakin lama semakin mendalam. Jalanan sudah semakin sepi, hanya warung makan Pecel Lele dan Nasi Goreng yang belum menutup lapak dagangnya. Sekitar 20 motor milik member Gertac berjejer rapi di depan minimarket.
Komunitas Gertac memiliki motto “Roar of Spirit Bikerholic” dengan pengertian bahwa setiap member Gertac membawa semangat pecinta motor di setiap dentuman kuda besinya ke mana pun dia pergi. Artinya, setiap member memiliki sense of belonging terhadap komunitas dan juga kepada pecinta motor lainnya.
Sebagai sebuah komunitas dan organisasi, Gertac menyadari posisi tersebut dalam kehidupan setiap membernya. Artinya, Gertac memiliki prinsip bahwa yang harus diutamakan adalah Keluarga, Pekerjaan/studi, dan setelah itu baru komunitas. Ada satu hal yang menjadi tradisi dalam komunitas ini, yaitu kunjungan ke rumah member. Dengan cara inilah Gertac ingin mengenalkan diri sekaligus berkenalan dengan keluarga dari member itu sendiri. Dari sini akan terbangun rasa kekeluargaan yang semakin erat. “Gue seneng pas anak-anak main ke rumah. Keluarga gue jadi gak khawatir karena sudah tahu ke mana anaknya pergi,” ujar Elga, salah satu member Gertac yang saat ini menjabat sebagai divisi Humas komunitas ini.
“Meskipun dengan member yang tidak banyak seperti komunitas-komunitas besar di luar, Gertac memiliki nilai-nilai tersendiri yang diperjuangkan sebagai sebuah organisasi. Nama Gertac menjadi besar bukan karena jumlah member, tapi karena kekuatan organisasinya. Maka dari itu setiap member Gertac akan masuk ke dalam lingkaran organisasi yang membuatnya semakin berkembang,” ungkap Dika sambil menyeruput kopi hitam yang sedikit lagi hanya tersisa ampasnya saja.
Non Multa sed Multum. Kira-kira istilah itulah yang mau menggambarkan Gertac. Bukan banyaknya, tapi kualitasnya. Gertac dibangun di atas pondasi organisasi yang kokoh, artinya Gertac tidak sekedar komunitas yang hanya kumpul-kumpul tidak jelas. Komunitas ini mau membangun persaudaraan di antara pecinta motor tanpa meninggalkan pembelajaran berorganisasi maupun pembelajaran-pembelajaran lainnya di luar motor. Saat ini Gertac bergabung dalam sebuah wadah bernama Macan Besi Indonesia (MBI). Dalam wadah itulah klub atau komunitas-komunitas motor berkumpul untuk berbagi pengalaman atau mengadakan acara bersama, seperti pada acara anniversary ke-5 Gertac yang dihadiri oleh ratusan hingga ribuan motor dari macam-macam komunitas motor di kawasan Pasar Modern Karawaci Tangerang.
“Lima tahun sudah Gertac berdiri. Masih banyak kekurangan di sana-sini. Namun kami percaya bahwa tim yang solid akan tercipta ketika kekurangan tersebut menjadi kelebihan kami. Artinya kami saling melengkapi satu sama lain di banyak hal, baik urusan motor maupun urusan luar motor,” kata Freydie kepada saya.
“Gue ngerasa Gertac itu bagian dari keluarga. Gue bisa cerita dan sharing tentang berbagai hal, termasuk skripsi gue. Banyak masukan gue dapet di tempat ini,” sahut Elga yang secara tiba-tiba muncul di belakang saya.
Hari mulai berganti, pasukan Gertac mulai bersiap-siap pulang ke rumah masing-masing. Seperti biasanya, kopdar diakhiri dengan doa bersama untuk menjalani aktivitas seminggu ke depan. Selesai berdoa, masing-masing member mulai menyalakan kuda besinya. Suasana hangat itu akan kembali dirasakan seminggu ke depan.
Tepat pukul 01.30, saya meninggalkan lokasi kopdar Gertac. Kantung mata mulai meminta untuk mengakhiri petualangan hari itu. Menyusuri jalanan yang sepi, saya menuju tempat peristirahatan. Bulan menyambut dengan hangat, sehangat pelukan seorang sahabat. Salam Gertac Holic.

Friday, March 8, 2013

Jurnalisme dalam Jurang Moralitas



Kebenaran adalah sederhana, kebenaran tidak memerlukan tipu muslihat untuk meyakinkannya
- Seneca -
Rumput-rumput bergoyang, terhempas oleh angin sepoi kota Washington. Sebuah bis sekolah berwarna kuning membawa siswa-siswi bersama dengan para pendamping menuju sebuah tempat. Sepotong percakapan kecil seorang anak dan wanita dengan blazer abu-abu memulai petualangan besar yang menggoncang Amerika Serikat.

Sebuah ballpoint dan secarik kertas menjadi senjata bagi Rachel Amstrong (Kate Beckinsale) untuk mengungkap sebuah rahasia Amerika. Bekerja di sebuah media massa terkenal, Capitol Sun-Times, Rachel mendapat kesempatan untuk menulis sebuah berita mengenai hal yang dianggap tabu oleh pemerintah.

Pagi itu kota Washington dan seluruh pelosok Amerika gempar. Headline koran Sun-Times memuat informasi mengenai Van Doren. Sebelumnya, tidak ada yang mengetahui siapakah orang ini. Rachel Amstrong berhasil mengungkap fakta seorang agen rahasia CIA yang sedang menjalankan tugas penyamaran itu. Pemerintah kelabakan. Bagaimana mungkin sebuah rahasia Negara dapat dibocorkan kepada publik?

Sejak kejadian itu, Rachel terus diburu oleh pemerintah. Patton Dubois (Matt Dillon), seorang jaksa penutut, menjadi orang pertama dan utama yang ditugaskan untuk mengungkap dalang di balik terungkapnya fakta mengenai Van Doris. Rachel terus menerus dicecar untuk memberitahu sumber informasi berita tersebut.

Menjadi seorang wartawan membuat Rachel memegang teguh prinsip-prinsip dalam dunia jurnalisme, termasuk dalam hal melindungi narasumber. Tidak mudah bagi pemerintah untuk mendapatkan informasi dari Rachel. Ia tetap menjaga rahasia identitas narasumbernya hingga pada suatu ketika, hakim Hall (Floyd Abrams) menjebloskannya ke penjara.

Tidak ada lagi blazer abu-abu, ballpoint, ataupun secarik kertas untuk Rachel. Hidupnya benar-benar berubah. Tempat tidur bertingkat-tingkat dalam sebuah barak menjadi tempat baru baginya. Rachel tak lagi dapat menikmati kebebasan, bahkan untuk bertemu dengan anak yang sangat dicintainya, Timothy. Hubungannya dengan sang suami, Ray Amstrong, juga semakin tidak jelas, apalagi ketia Ray telah memiliki kekasih baru. Perubahan drastis yang terjadi dalam hidup Rachel membuat ia depresi. Bagaimana mungkin sebuah berita membuat dirinya mengalami semua hal yang tidak pernah dipikirkan.

Selama dalam penjara, Rachel terus diburu oleh Jaksa Stewart Dubois. Ia selalu dipaksa untuk memberitahu narasumber yang memberikannya informasi mengenai Van Doren. Rachel tetap bersikeras pada pendiriannya. Ia tak mau mengungkap sosok di balik beritanya. Hingga pada suatu ketika, hakim memutuskan untuk membebaskan Rachel karena berpikir tak ada gunanya Rachel dalam penjara. Ia tidak akan merubah keputusan melindungi narasumbernya.

“Wanita ini adalah seorang kriminal karena ia melindungi seorang kriminal,” ungkap Jaksa Stewart. Ia tidak menerima keputusan hakim. Tapi toh palu sudah diketuk. Rachel akhirnya bebas dari penjara yang telah menjerat kebebasannya selama satu tahun penuh.

Cerita belum selesai, Rachel kembali dituntut dua tahun penjara oleh Jaksa Stewart. Ia mendakwa Rachel tidak menghormati pengadilan dengan menolak menyebutkan narasumbernya. Udara segar yang sempat dihirup kini ditarik kembali dari kehidupannya. Semua harapan tentang Timothy, tentang Ray, tentang karirnya melayang hingga dua tahun ke depan. Rachel kembali masuk ke dalam bui.
Seorang wanita dengan blazer abu-abu muncul kembali dalam sebuah bayang flashback. Wanita itu terlihat bercakap-cakap dengan seorang anak kecil yang tidak lain adalah Allison, anak kandung dari Van Doren. Itu artinya?
***
Film “Nothing but the Truth” mengajak kita untuk melihat sebuah hal dalam dunia ini dari sudut pandang yang berbeda. Banyak orang di luar sana yang tidak mampu menjaga prinsip-prinsip hidup ketika dihadapkan dalam sebuah penderitaan. Manusia memang memiliki naluri untuk lari dari permasalahan, menjauhi resiko, dan akhirnya terjatuh dalam jerat kehidupan yang statis.

Berbeda dari yang lain, pekerjaan sebagai wartawan menjadikan seseorang untuk berani memegang resiko yang besar ketika mengungkap sebuah rahasia, apalagi dalam hal ini adalah sebuah rahasia Negara. Seorang wartawan dituntut dalam perjudian besar antara keberanian menyuarakan fakta atau terjerembab dalam kegelisahan nurani.

Terlepas dari pada itu, sebagai homo socius, kita diharapkan mampu memiliki prinsip-prinsip hidup yang erat kaitannya dengan kehidupan bersama. Satu hal yang paling mendasar adalah ketika manusia sanggup menjalani hidup dengan prinsip kebenaran moral. Ada tiga aspek yang menjadi rangkaian fundamen dari kebenaran moral, yakni kredibilitas, integritas, dan kesopanan.

Kredibilitas adalah aspek utama yang diharapkan ada dalam setiap manusia, termasuk di dalamnya adalah seorang jurnalis. Tanpa adanya kredibilitas, aspek-aspek kebenaran moral tidak akan tercapai dalam kehidupan. Seseorang yang memiliki kredibilitas dipandang sebagai pribadi yang berkarakter kuat. Kesadaran etik yang dibangun dengan pondasi kredibilitas mengandung kekuatan yang tidak mampu digeser oleh iming-iming atau godaan tertentu. Salah satu indikator kredibilitas yakni memegang teguh fakta-fakta yang terjadi dan menyampaikannya dengan tanggung jawab tanpa harus takut akan resiko yang dihadapi.

Selain itu, pribadi yang berkarakter adalah seseorang yang mampu memiliki aspek integritas dalam dirinya. Stephen Carter mendefinisikan integritas sebagai sebuah sikap yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, artinya manusia mampu membaca segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya secara utuh, tanpa harus terjebak pada satu sudut pandang. Dengan mengetahui hal-hal tersebut (baik dan salah), manusia dapat mengambil sikap yang tepat terhadap sebuah problematika kehidupan. Integritas membawa seseorang kepada kesadaran pentingnya moralitas karena di dalamnya manusia memiliki dasar etik yang membuat dirinya bertindak dengan nilai yang berbeda, yakni nilai kebenaran.

Satu hal lain yang menjadikan seseorang memiliki kesadaran moral yakni civility atau kesopanan. Civility menjadi sebuah kompas bagi manusia dalam menemukan arti moralitas yang sesungguhnya. Hal ini tidak lepas dari keberadaan aspek civility sebagai refleksi atas nilai-nilai utama di dalam kebanyakan agama di dunia. Kesopanan dapat membangkitkan pengorbanan diri dan perhatian (respect) sebagai penguatan tercapainya kebenaran moral.

Pada dasarnya, setiap orang mampu menghadirkan ketiga aspek kebenaran moral tersebut (kredibilitas, integritas, dan kesopanan). Kecenderungan manusia untuk memperoleh kebenaran harus diimbangi dengan kesadaran etik dalam proses mencapainya. Kesadaran etik akan mendorong manusia mengaktualisasikan dirinya dalam kerangka kebenaran moral tersebut. Dengan menjadikan kebenaran moral sebagai landasan hidup, manusia dianggap mampu menjalani proses pembentukan karakter dalam kawah candradimuka, artinya manusia mampu hidup bersama dengan manusia lain yang tidak mungkin tidak mengandung problematika sosial.

Manusia dengan kesadaran moral adalah manusia yang memiliki suara hati. Dalam kesadaran moral, manusia sadar bahwa ia mutlak untuk memilih yang benar. Akar dari kesadaran moral adalah hati nurani, yaitu kesadaran di dasar hati bahwa kita harus memilih yang baik, jujur, adil, dan seterusnya. Kesadaran itu kita sadari langsung sebagai jawaban terhadap suatu tuntutan dari sebuah realitas yang kita hadapi, yang daripadanya kita tidak dapat lari, di mana sikap terhadapnya menentukan mutu kita sebagai manusia.

Seorang jurnalis seperti Rachel Amstrong, baik sadar maupun tidak sadar, telah memiliki ketiga aspek kebenaran moral tersebut sehingga apapun resiko yang dihadapinya, ia tetap memegang teguh prinsip-prinsip jurnalismenya, yakni dengan tidak mengatakan narasumbernya yang tidak lain adalah Allison, teman satu sekolah anaknya, Timoty, yang sekaligus adalah anak dari Van Doren sendiri. Rachel telah menunjukkan bahwa kesadaran etik membawanya sampai pada kebenaran moral yang menjadikan dirinya sebagai pribadi yang rela berkorban demi sebuah keyakinan.

Semoga saja kita semua mampu menjadikan diri kita sebagai pribadi yang memiliki kesadaran akan kebenaran moral, menjadikan kesadaran etik sebagai pendorong aktualisasi diri yang positif, dan dapat menjalani proses kehidupan dengan nilai-nilai yang luhur. Kebenaran adalah sebuah kesederhanaan yang  tidak memerlukan tipu muslihat untuk meyakinkannya.

Mungkin review ini dapat diakhiri dengan melupakan siapa penulis artikel ini yang terlihat sok bijak, sok kritis, sok pintar, dan sok berbobot. Penulis hanya seorang mahasiswa yang tidak memiliki banyak pengetahuan dan  belum memiliki banyak pengalaman menjalani kehidupan seperti halnya John Henry Newman, Seneca, atau Hugo Chaves yang menjadi bagian dalam sejarah dunia.

Selasa, 6 Maret 2013
Ketika Presiden Venezuela menghembuskan nafas terakhir
Ad Maiorem Dei Gloriam

Friday, March 1, 2013

Revolusi Menerjang Burung Bangkai



Boniface Mwangi
Gedung-gedung menjulang tinggi. Cuaca tidak terlalu panas, juga tidak terlalu mendung, sangat cocok untuk beraktifitas. Jalanan terlihat lengang meski dihimpit bangunan-bangunan raksasa. Kota Nairobi, ibukuta Negara Kenya itu terlihat menampilkan suasana kota yang nyaman untuk sebagai tempat tinggal.

Namun yang terjadi tidak seperti yang dibayangkan. Kenyamanan hanya menjadi mimpi di siang bolong. Gedung-gedung menjulang tinggi di antara rumah-rumah kumuh yang memadati sebagian besar wilayah Kenya. Negara dengan luas 580,000 km2   itu sedang dilanda krisis.   Hampir seluruh masyarakat Kenya hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapat satu Dolar Amerika per hari. Diperkiran hampir satu juta dollar lenyap karena korupsi pada tahun 2002 sampai 2005.

“Para politikus sedang menikmati minum teh bersamaan ketika kita membunuh satu sama lainnya.” Ujar seorang warga. Tepat jam sepuluh pagi, orang-orang berkumpul di tengah kota Nairobi. Mereka memandang sebuah tembok dengan gambar-gambar yang dilukiskan di sana. Sebuah burung bangkai berpakaian seorang politikus menjadi sorotan utama.

“Saya adalah seorang pemimpin. Saya merampas, memperkosa, membakar, dan membunuh dengan kekuasaan saya. Saya mencuri pajak mereka, merampas tanahnya, tetapi para idiot itu akan tetap mendukung saya”.

Demikian ungkapan yang tertulis di tembok tersebut. Kata-kata yang terlontar dari mulut si burung bangkai yang menyamar sebagai politikus.

 Ini adalah sebuah penghinaan! Sebuah aksi menentang pemerintah!

Seseorang dengan blazer hitam tampak terperangah. Senyum kecil dari bibirnya merekah.  “Anak-anak ini berbicara tentang kebenaran. Ini adalah sebuah kebenaran,” ujarnya.

“Kami idiot. Para idiot adalah para pendukung,” timpal seorang di sudut yang lain disertai dengan sebuah tawa. Ia mengakui bahwa tidak lain ia adalah seorang idiot. 
***
Memakai jas hitam kebiruan dan dasi motif kotak-kotak biru abu-abu, memegang sebuah kitab suci sebagai saksi atas sumpahnya, Mwai Kibaki disahkan sebagai presiden setelah memenangkan pemilu pada Desember 2007.

Oposisi berteriak. Mereka menolak terpilihnya Kibaki menjadi presiden. Mereka mengobarkan kekerasan di Kenya. Raut wajah menyeramkan, berteriak dengan mata melotot, mulut menganga berteriak-teriak.
 Korban kembali berjatuhan, seorang dengan kepala berdarah digotong ke tempat lebih aman.  Seorang berbaju merah membawa golok di tangan kanan, seorang lagi membawa sekop sebagai senjatanya. Ratusan orang mengangkat tangan dengan senjata masing-masing. Kepulan debu membuat wilayah yang kumuh itu semakin terlihat hancur.

Seorang ibu dengan baju biru bercelana merah terhempas di tanah, menangis meratapi kerusuhan yang terjadi. Api berkobar di mana-mana. Kota itu hancur, tidak ada lagi bangunan tersisa. Sudah lebih dari 1.100 orang terbunuh dan lebih dari 600.000 orang kehilangan tempat tinggal. Hanya tenda-tenda berwarna putih yang menjadi perkemahan korban kerusuhan. Tenda itu sama sekali tidak bagus, berjejer tidak teratur di atas tanah-tanah lapang.
***
Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam. Boniface Mwangi. atau biasa dipanggil Bonnie, berkumpul bersama beberapa orang. Mereka merencanakan sebuah aksi yang akan merubah peta panggung politik dan akan menjadi sejarah baru Negara Kenya.

“Kami mencoba untuk berimprovisasi. Ini adalah graffiti pertama kami dan sangat tidak terorganisasi. Kami akan secepatnya melakukan ini dan selama ini illegal, kami memiliki sebuah tantangan,” ujar Boniface dengan syal motif Timur Tengah yang melekat di lehernya. Matanya menancapkan keyakinan.

Waktu berjalan, malam semakin larut. Boniface bersama tim menuju pusat kota. Mereka mencari dinding tinggi yang dapat menjadi kanvas. Layar LCD telah dinyalakan, mereka segera menciptakan graffiti tentang realita yang terjadi di dunia politik Kenya. Mereka menciptakan simbol burung bangkai berpakaian politikus.
“Tak sabar bagiku menunggu jam sepuluh pagi dan orang-orang akan melihat hal ini.”
***
Satu minggu kemudian setelah kejadian mural itu, para politisi mendekati Bonnie dan mengajaknya untuk bekerja sama. Uang dan masa depan menjadi jaminan. Namun dengan tegas Bonnie mengatakan tidak. Hal ini mengundang masalah baru baginya.

Langit kota masih terlihat cerah tetapi kali ini Bonnie harus berurusan dengan polisi. Dengan modal sebuah komputer di kamarnya, Bonnie membuat status di jejaring sosial bahwa ia dipanggil polisi. Bonnie mengorganisasi orang-orang untuk dating ke kantor polisi Nairobi.

“Burung Bangkai Bertekuk Lututlah! Kenya Bangkit!” Terdengar teriakan-teriakan dari para aktivis yang berjalan menuju kantor polisi Nairobi. Dengan kaos putih bertuliskan “Heal The Nation”, mereka menjemput Bonnie yang saat itu ditahan polisi.

“Kenya adalah rumah kita!” ujar Bonnie ketika dibebaskan tanpa uang denda. “Kita semua melakukan itu, maka kamu tidak akan menangkap satu orang di antara kami.”

Kenya menerapkan selektivitas hukum. Jika kamu miskin, Negara akan menggunakan kekuatan hukum yang penuh. Namun jika kamu kaya dan telah mencuri banyak uang, maka mereka akan memberikanmu perlindungan.

Asbes-asbes menjadi pemandangan dominan. Sebuah bambu dengan cat merah mencuat dari sebuah rumah. Sampah-sampah berserakan. Bonnie memandang kota itu dari sebuah dataran tinggi.
 
Sebelum menjadi seorang aktivis, Boniface Mwangi bekerja sebagai seorang jurnalis foto dengan Elijah Kanyi. Mereka meliput tentang Mathare, sebuah perkampungan yang ditempati para korban kerusuhan setelah pemilu Desember 2007.

 “Aku sempat memikirkan untuk bunuh diri,” kata Bonnie.

Kota-kota di sekitar pusat episentrum gejolak politik semakin tidak berbentuk. Oposisi bertarung dengan cara kekerasan. Konflik yang semakin meradang ini membalikkan pemikiran Bonnie.
“Daripada membunuh diriku sendiri, mengapa saya tidak keluar dari pekerjaan ini? Saya memiliki foto-foto yang berbicara. Saya dapat menggunakannya sebagai alat untuk membawa rasa empati dari orang-orang Kenya.”

Foto-foto Bonnie tersebar dalam acara pameran Picha Mtaani, bertaburan di 20 sudut kota, dipajang dengan papan hitam. Ada juga foto yang begitu saja ditaruh di atas rumput, ada yang ditempel di pagar besi dan banyak orang melihatnya. 

“Kami menemukan jalan baru untuk mengajak orang-orang Kenya berbicara,” ungkap Bonnie.
Paras yang suram, mata sayu, air mata yang menetes, menghiasi pameran tersebut. Bisu, diam, tanpa suara. Mereka terbawa suasana kerusuhan yang telah memakan korban yang terjadi di Negara mereka sendiri.

“Foto-foto ini akan membayangi mereka,” kata seorang ibu sambil terisak-isak. Seluruh orang yang melihat pameran ini menangis, tidak peduli laki-laki, wanita, atau anak-anak. 

Seorang berjaket abu-abu, bertopi putih dengan kaos bermotif hijau diperkenalkan oleh Bonnie kepada para pengunjung pameran. Ia adalah seorang korban kekerasan. Ia meninggalkan rumah hanya bermodalkan baju yang melekat padanya.

 “Saya realistis bahwa penyembuhan adalah sebuah hal yang penting. Kita butuh untuk menyembukan Negara ini. Tetapi jika kita telah sembuh dan memberikan kembali suara kita kepada orang yang sama, kita berada dalam sebuah masalah.”
***
Sebuah pena dan kertas ukuran A3 terpampang bagi Boniface dan timnya dalam mempersiapkan grafiti selanjutnya, walaupun ada resiko penahanan. 

“Saya benci ketika saya takut. Saya marah dengan ketakutan itu,” kata Bonnie ketika memikirkan tentang resiko yang akan diterima jika ia tertangkap.

“Ketakutan itu baik, hanya seorang paranoid yang bertahan hidup. Ketakutan menjagamu untuk terus hidup,” timpal seorang teman dalam tim Bonnie.

Gambar tentang politisi yang kejam dihadirkan dalam bentuk kartun-kartun berwajah naif, dibalut dengan perut yang buncit dan berbintik-bintik, saling beradu kekuatan satu sama lain, antara koalisi dan oposisi.
Konsep gambar telah jadi, kini saatnya berperang. Amunisi berwujud pilok telah tersedia. Ada yang berwarna merah, putih, coklat, kuning, biru, dan masih banyak lagi.  Selama satu bulan, Boniface dan tim menghasilkan lebih dari 40 jenis grafiti tentang perjuangan warga Kenya.

Malam telah datang. Dengan Van berwarna putih mereka segera menuju Uhurt Highway, Kenyatta Avenue, dan sudut-sudut  kota lainnya. Mereka menjadi seperti seorang maling yang diam-diam menunjukkan aksi. Setiap kali mereka membuat grafiti, di pagi hari selalu ada petugas yang membersihkan grafiti itu. Tembok-tembok telah penuh dengan gambar dan tulisan tentang perjuangan. Namun seketika para petugas berbaju ungu segera membersihkan tembok itu dengan cat biru ataupun cat berwarna lainnya. 

“No Poster” dicoret dan diganti dengan “No Vultures”. Mereka menyuarakan anti burung bangkai yang menjadi simbol pemimpin yang serakah. NGAMWE, MANGATI, KIGEUGEU, MAFISI, BONOKO, GHASIAH.
“Grafiti adalah sesuatu yang lebih dari radikal, itu lebih dari sebuah konfrontasi di depan wajahmu.”
***

Topi hijau lumut telah terpasang, sweater hitam berlambang burung bangkai yang dicoret telah menempel di tubuh, tangan menggenggam kendali dan mesin pun dinyalakan. Boniface menuju Naivasha, 85 Km dari Nairobi. Ia akan membuka pameran lagi.

Pameran foto Picha Mtaani itu merupakan sebuah usaha rekonsiliasi. Butuh suara yang bijaksana dalam pemilu dan menyembuhkan negara ini.

“Suatu hari kita berhenti berpikir tentang diri kita masing-masing. Pada hari itu Kenya akan dipenuhi kedamaian,” seorang dengan kemeja putih berkata mantap sambil mengepalkan tangan usai melihat pameran foto.

Tangannya memangku dagu, alis mengernyit dengan sorot mata tajam. Seorang anak berkalung rosario memandang jauh ke arah foto Mwai Kibaki. Tidak lama, ia berlalu, meninggalkan sejuta pertanyaan dan tentunya sejuta harapan.

Seorang komisaris daerah memutuskan untuk menghentikan pameran karena foto-foto terasa begitu sensitif. Satu per satu foto dicopot dari pagar. Koordinator pameran, Irene Kui seperti terpukul. Wajahnya lesu dan air mata tak kuasa mengalir dari mata coklatnya. Mereka harus mengembalikan foto-foto itu  ke dalam truk dan kembali ke Nairobi.
***
Kebun belakang terlihat berbeda. Boniface dan tim mempersiapkan 49 peti mati  yang mwelambangkan politisi yang kebal hukum dan masih menikmatinya sejak era kemerdekaan. “Kubur Burung Bangkai dengan Suaramu,” tulisan yang tergores di atas peti mati itu.

 “Revolusi tidak terjadi di Nariobi saja, atau di rumahku saja, melainkan harus terbentang di seluruh negara. Maka kita butuh banyak orang yang percaya dengan apa yang sekarang sedang kita coba lakukan,” kata Bonnie mantap.

Sebuah truk membawa Boniface dan 49 peti itu ke sebuah tanah lapang di tengah kota. Boniface tidak sendiri. Puluhan bahkan ratusan orang telah memadati tempat itu. Semua menyuarakan arti kebebasan, menginginkan Kenya yang baru.

“Saya di sini karena saya tidak ingin adanya impunitas kembali”, ujar seorang bapak dengan tulisan “Sauti Yangu Kura Yangu Maisha Yetu” di tangannya.

Peti-peti mati itu telah dikeluarkan, dibawa menuju gedung parlemen. Mereka berteriak-teriak , “Kenya adalah Rumah kita! Kenya adalah rumah kita! Kenya adalah rumah kita!”

“Pemimpin-pemimpin itu harus mengembalikan apa yang mereka ambil” sebuah poster dipegang seorang anak kecil dengan 2 bendera Kenya di ujungnya.

Pagar tinggi membendung para demonstran masuk ke dalam. Boniface mencoba mengendalikan suasana. “Kita tidak bisa masuk ke dalam!”

“Pencuri! Pencuri! Pencurii!” Teriak para demonstran lainnya.

“Tolong jangan lemparkan peti itu! Kita di sini untuk meninggalkan petinya, jangan dilempar. Kita akan meremediasi situasi melalui suara kita pada pemilu. Kita bukanlah hooligans. Kita bukanlah seorang yang bengis, kita menginginkan sebuah revolusi pemilu yang damai.”

Peti-peti mati ditaruh menyandar di pagar gedung parlemen. Masing-masing peti tertulis nama-nama politisi, kasus-kasus impunitas, dan lain-lain. Semua berlambangkan anti burung bangkai.

Politisi keluar namun Boniface tetap mengendalikan situasi. “Kita datang atas nama kedamaian”. Lima belas menit kemudian, aparat dan beberapa politisi memasukkan peti-peti tersebut ke dalam truk.

“Kita tidak akan pernah kehilangan harapan. Perubahan tidak datang dalam satu malam. Mungkin apa yang kulakukan hari ini akan disempurnakan oleh anak-anakku,” ujar pria berumur 29 tahun itu.



Ignatius Fajar Santoso
 *Terinspirasi dari video “KENYA RISING” – Al Jazeera
Semoga pemuda Indonesia dapat mengobarkan semangat yang sama dengan pemuda Kenya.
Ini semua demi bangsa yang lebih baik.
Ad Maiorem Dei Gloriam