Revolusi Menerjang Burung Bangkai

“Saya adalah seorang pemimpin. Saya merampas, memperkosa, membakar, dan membunuh dengan kekuasaan saya. Saya mencuri pajak mereka, merampas tanahnya, tetapi para idiot itu akan tetap mendukung saya”.

Indonesia di Bawah SBY

Saat ini bangsa Indonesia pun sedang dipimpin oleh seorang Jenderal yang tidak memiliki kewibawaan penuh sebagai presiden. Tidak ada kebijakan yang berani dari presiden yang membela kaum kecil dan lemah. Lalu?

INDONESIA

Sebuah negeri yang kaya segala-galanya, termasuk dengan sejarahnya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki integritas kuat di kancah dunia. Kenyataannya?

GIE

Mengurai Isi Hati Soe Hok Gie (Berdasarkan Puisi Sebuah Tanya)

Quo Vadis Indonesia?

Pemimpin, Solusi Memajukan Indonesia

Sunday, May 19, 2013

Hari Kamis untuk Keadilan


”Hidup Korban! Jangan diam! Hidup Korban! Lawan! Jangan diam!”
Teriakan-teriakan menuntut keadilan menggema di depan Istana Negara sore itu. Beberapa orang berpakaian hitam dengan atribut-atributnya tampak berkumpul, berorasi, dan berefleksi. Foto-foto digelar, payung-payung bertuliskan keadilan erat digenggam, sorot mata tertuju pada bayang sang Presiden. 

Cuaca sedikit mendung, langit gelap, tapi tak sedikit pun memadamkan semangat para pejuang keadilan ini. Mereka adalah para para aktivis dan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu. Semboyan “Menolak Lupa” adalah roh yang diangkat. Hari Kamis dipilih menjadi hari keramat untuk mendobrak tirani kekuasaan. Tragedi 65, tragedi Talangsari, tragedi Tanjung Priok, tragedi 27 Juli 1996, tragedi Penculikan, tragedi Trisakti, tragedi Mei 1998, tragedi Semanggi I, tragedi Semanggi II, dan peristiwa pembunuhan Munir menjadi sekian dari banyaknya pelatuk aksi Kamisan ini.

Seketika mata saya tertuju pada seorang wanita tua berambut putih. Ia tampak kokoh berdiri menghadap istana meski tubuhnya kurus dengan kulit yang sudah mulai keriput. Sayup matanya sudah mulai lebam namun menunjukkan sorot yang tajam. Tingginya tak lebih dari 160 sentimeter dengan dress hitam yang melekat padanya. Sebuah payung hitam bertuliskan “tuntaskan tragedi semanggi II” digenggamnya erat.

“Aksi ini berawal ketika kami para korban dan keluarga korban membentuk Jaringan Solidaritas Korban Untuk Keadilan atau JSKK. Pada saat itu saya dan Ibu Yun Hap berencana mengadakan aksi mengelilingi Bundaran HI setiap minggu. Seiring berjalannya waktu kami memutuskan mengadakan kamisan di depan istana Negara,” ujar Sumarsih, ibunda BR. Norma Irawan, salah satu korban penembakan tragedi 1998 yang sekaligus presidium JSKK. 

 B.R Norma Irawan atau biasa disebut Wawan adalah satu dari sekian banyak korban pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah kepada rakyat sipil. JSKK bersama dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) seringkali mengadakan aksi menuntut keadilan Hak Asasi Manusia di tanah air. Sampai saat ini, masih banyak kasus-kasus yang masih menjadi tanda tanya, tanpa ada kejelasan dari pihak pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Berbeda dengan para aktivis kebanyakan, saat itu ia memakai baju berwarna merah, bersyal abu-abu, dan menggenggam payung bertuliskan “stop impunitas”, berkoar-koar atas nama keadilan. Namanya sangat santer setelah suaminya meninggal dengan penyebab yang tidak jelas. Tidak lain adalah Suciwati, istri dari Munir, seorang pejuang Hak Asasi Manusia di bumi nusantara. 

Ada lagi seorang pria tua, berumur kisaran 70 tahun, memakai baju hitam dan sandal selop khas Jawa. Kulitnya bermandi keriput sawo matang, menggenggam secarik kertas dan berteriak-teriak menghadap istana. Ia bercerita mengenai kisah Bung Karno dan Pak Harto pada jaman Partai Komunis Indonesia, bagaimana keluarganya menjadi korban pembunuhan yang mengatasnamakan pembubaran PKI, menyulut api keadilan di bumi Purworejo. 

Empat puluh lima menit berlalu, aksi berlanjut pada refleksi bersama. Para aktivis dan  korban pelanggaran HAM membuat sebuah lingkaran. Tidak besar, kecil tapi bernyali besar. Hening. Hanya suara kendaraan yang terdengar lalu lalang. Perlahan, semua benar-benar hening. Masing-masing keluarga korban seperti menghadirkan orang-orang yang disayangi, yang mati tanpa ada kelanjutan bukti.

Cahaya matahari mulai temaram. Langit menjadi biru kekuningan. Senja telah datang. Lingkaran kecil itu kini menjadi lingkaran  makna. Semangat atas nama keadilan memancar dalam setiap sorot mata.
“Mari kita tetap menjaga asa untuk memperjuangkan keadilan! Meski tanpa suami saya, kita akan terus berjuang! Saya ingin generasi muda menjadi corong dalam perjuangan HAM di negeri ini! Hidup Korban!” ujar Suciwati.

Badannya tegap, berambut agak cepak, memakai jaket abu-abu dengan kacamata kotak. Dengan tas hitam di pudak,  ia terlihat berbisik dengan Suciwati. Ialah Usman Hamid. Berdiri sebagai garda pelindung keadilan di Indonesia. Bersama kawan-kawan lain berjuang menerobos birokrat demi tegaknya Hak Asasi Manusia. 

Aksi sore itu akhirnya selesai. Semua merapatkan barisan. Langkah kaki menyatu menghadap istana. Sebuah teriakan lantang menggema serempak, ”Hidup Korban! Jangan diam! Hidup Korban! Lawan! Jangan diam!”