Boniface Mwangi |
Gedung-gedung
menjulang tinggi. Cuaca tidak terlalu panas, juga tidak terlalu mendung, sangat
cocok untuk beraktifitas. Jalanan terlihat lengang meski dihimpit
bangunan-bangunan raksasa. Kota Nairobi, ibukuta Negara Kenya itu terlihat
menampilkan suasana kota yang nyaman untuk sebagai tempat tinggal.
Namun yang
terjadi tidak seperti yang dibayangkan. Kenyamanan hanya menjadi mimpi di siang
bolong. Gedung-gedung menjulang tinggi di antara rumah-rumah kumuh yang
memadati sebagian besar wilayah Kenya. Negara dengan luas 580,000 km2 itu sedang dilanda krisis. Hampir seluruh masyarakat Kenya hidup di bawah
garis kemiskinan dengan pendapat satu Dolar Amerika per hari. Diperkiran hampir
satu juta dollar lenyap karena korupsi pada tahun 2002 sampai 2005.
“Para politikus
sedang menikmati minum teh bersamaan ketika kita membunuh satu sama lainnya.” Ujar
seorang warga. Tepat jam
sepuluh pagi, orang-orang berkumpul di tengah kota Nairobi. Mereka memandang
sebuah tembok dengan gambar-gambar yang dilukiskan di sana. Sebuah burung
bangkai berpakaian seorang politikus menjadi sorotan utama.
“Saya adalah seorang pemimpin. Saya merampas,
memperkosa, membakar, dan membunuh dengan kekuasaan saya. Saya mencuri pajak
mereka, merampas tanahnya, tetapi para idiot itu akan tetap mendukung saya”.
Demikian
ungkapan yang tertulis di tembok tersebut. Kata-kata yang terlontar dari mulut
si burung bangkai yang menyamar sebagai politikus.
Ini adalah sebuah penghinaan! Sebuah aksi
menentang pemerintah!
Seseorang dengan
blazer hitam tampak terperangah. Senyum kecil dari bibirnya merekah. “Anak-anak ini berbicara tentang kebenaran.
Ini adalah sebuah kebenaran,” ujarnya.
“Kami idiot.
Para idiot adalah para pendukung,” timpal seorang di sudut yang lain disertai
dengan sebuah tawa. Ia mengakui bahwa tidak lain ia adalah seorang idiot.
***
Memakai jas
hitam kebiruan dan dasi motif kotak-kotak biru abu-abu, memegang sebuah kitab
suci sebagai saksi atas sumpahnya, Mwai Kibaki disahkan sebagai presiden
setelah memenangkan pemilu pada Desember 2007.
Oposisi berteriak.
Mereka menolak terpilihnya Kibaki menjadi presiden. Mereka mengobarkan
kekerasan di Kenya. Raut wajah menyeramkan, berteriak dengan mata melotot,
mulut menganga berteriak-teriak.
Korban kembali berjatuhan, seorang dengan
kepala berdarah digotong ke tempat lebih aman. Seorang berbaju merah membawa golok di tangan
kanan, seorang lagi membawa sekop sebagai senjatanya. Ratusan orang mengangkat
tangan dengan senjata masing-masing. Kepulan debu membuat wilayah yang kumuh
itu semakin terlihat hancur.
Seorang ibu
dengan baju biru bercelana merah terhempas di tanah, menangis meratapi
kerusuhan yang terjadi. Api berkobar di mana-mana. Kota itu hancur, tidak ada
lagi bangunan tersisa. Sudah lebih dari 1.100 orang terbunuh dan lebih dari
600.000 orang kehilangan tempat tinggal. Hanya tenda-tenda berwarna putih yang
menjadi perkemahan korban kerusuhan. Tenda itu sama sekali tidak bagus,
berjejer tidak teratur di atas tanah-tanah lapang.
***
Jarum jam
menunjukkan pukul delapan malam. Boniface Mwangi. atau biasa dipanggil Bonnie, berkumpul
bersama beberapa orang. Mereka merencanakan sebuah aksi yang akan merubah peta panggung
politik dan akan menjadi sejarah baru Negara Kenya.
“Kami mencoba
untuk berimprovisasi. Ini adalah graffiti pertama kami dan sangat tidak
terorganisasi. Kami akan secepatnya melakukan ini dan selama ini illegal, kami
memiliki sebuah tantangan,” ujar Boniface dengan syal motif Timur Tengah yang
melekat di lehernya. Matanya menancapkan keyakinan.
Waktu berjalan,
malam semakin larut. Boniface bersama tim menuju pusat kota. Mereka mencari
dinding tinggi yang dapat menjadi kanvas. Layar LCD telah dinyalakan, mereka
segera menciptakan graffiti tentang realita yang terjadi di dunia politik
Kenya. Mereka menciptakan simbol burung bangkai berpakaian politikus.
“Tak sabar
bagiku menunggu jam sepuluh pagi dan orang-orang akan melihat hal ini.”
***
Satu minggu kemudian
setelah kejadian mural itu, para politisi mendekati Bonnie dan mengajaknya
untuk bekerja sama. Uang dan masa depan menjadi jaminan. Namun dengan tegas
Bonnie mengatakan tidak. Hal ini mengundang masalah baru baginya.
Langit kota
masih terlihat cerah tetapi kali ini Bonnie harus berurusan dengan polisi.
Dengan modal sebuah komputer di kamarnya, Bonnie membuat status di jejaring sosial
bahwa ia dipanggil polisi. Bonnie mengorganisasi orang-orang untuk dating ke
kantor polisi Nairobi.
“Burung Bangkai Bertekuk
Lututlah! Kenya Bangkit!” Terdengar teriakan-teriakan dari para aktivis yang
berjalan menuju kantor polisi Nairobi. Dengan kaos putih bertuliskan “Heal The
Nation”, mereka menjemput Bonnie yang saat itu ditahan polisi.
“Kenya adalah
rumah kita!” ujar Bonnie ketika dibebaskan tanpa uang denda. “Kita semua
melakukan itu, maka kamu tidak akan menangkap satu orang di antara kami.”
Kenya menerapkan
selektivitas hukum. Jika kamu miskin, Negara akan menggunakan kekuatan hukum
yang penuh. Namun jika kamu kaya dan telah mencuri banyak uang, maka mereka
akan memberikanmu perlindungan.
Asbes-asbes
menjadi pemandangan dominan. Sebuah bambu dengan cat merah mencuat dari sebuah
rumah. Sampah-sampah berserakan. Bonnie memandang kota itu dari sebuah dataran
tinggi.
Sebelum menjadi
seorang aktivis, Boniface Mwangi bekerja sebagai seorang jurnalis foto dengan
Elijah Kanyi. Mereka meliput tentang Mathare, sebuah perkampungan yang
ditempati para korban kerusuhan setelah pemilu Desember 2007.
“Aku sempat
memikirkan untuk bunuh diri,” kata Bonnie.
Kota-kota di
sekitar pusat episentrum gejolak politik semakin tidak berbentuk. Oposisi
bertarung dengan cara kekerasan. Konflik yang semakin meradang ini membalikkan
pemikiran Bonnie.
“Daripada
membunuh diriku sendiri, mengapa saya tidak keluar dari pekerjaan ini? Saya
memiliki foto-foto yang berbicara. Saya dapat menggunakannya sebagai alat untuk
membawa rasa empati dari orang-orang Kenya.”
Foto-foto Bonnie
tersebar dalam acara pameran Picha Mtaani, bertaburan di 20 sudut kota,
dipajang dengan papan hitam. Ada juga foto yang begitu saja ditaruh di atas
rumput, ada yang ditempel di pagar besi dan banyak orang melihatnya.
“Kami menemukan
jalan baru untuk mengajak orang-orang Kenya berbicara,” ungkap Bonnie.
Paras yang
suram, mata sayu, air mata yang menetes, menghiasi pameran tersebut. Bisu,
diam, tanpa suara. Mereka terbawa suasana kerusuhan yang telah memakan korban
yang terjadi di Negara mereka sendiri.
“Foto-foto ini
akan membayangi mereka,” kata seorang ibu sambil terisak-isak. Seluruh orang
yang melihat pameran ini menangis, tidak peduli laki-laki, wanita, atau
anak-anak.
Seorang berjaket abu-abu, bertopi putih
dengan kaos bermotif hijau diperkenalkan oleh Bonnie kepada para pengunjung
pameran. Ia adalah seorang korban kekerasan. Ia meninggalkan rumah hanya
bermodalkan baju yang melekat padanya.
“Saya realistis bahwa penyembuhan adalah
sebuah hal yang penting. Kita butuh untuk menyembukan Negara ini. Tetapi jika
kita telah sembuh dan memberikan kembali suara kita kepada orang yang sama,
kita berada dalam sebuah masalah.”
***
Sebuah pena dan kertas ukuran A3 terpampang
bagi Boniface dan timnya dalam mempersiapkan grafiti selanjutnya, walaupun ada
resiko penahanan.
“Saya benci ketika saya takut. Saya
marah dengan ketakutan itu,” kata Bonnie ketika memikirkan tentang resiko yang
akan diterima jika ia tertangkap.
“Ketakutan itu baik, hanya seorang paranoid
yang bertahan hidup. Ketakutan menjagamu untuk terus hidup,” timpal seorang
teman dalam tim Bonnie.
Gambar tentang politisi yang kejam
dihadirkan dalam bentuk kartun-kartun berwajah naif, dibalut dengan perut yang
buncit dan berbintik-bintik, saling beradu kekuatan satu sama lain, antara
koalisi dan oposisi.
Konsep gambar telah jadi, kini saatnya
berperang. Amunisi berwujud pilok telah tersedia. Ada yang berwarna merah,
putih, coklat, kuning, biru, dan masih banyak lagi. Selama satu bulan, Boniface dan tim
menghasilkan lebih dari 40 jenis grafiti tentang perjuangan warga Kenya.
Malam telah datang. Dengan Van berwarna
putih mereka segera menuju Uhurt Highway, Kenyatta Avenue, dan sudut-sudut kota lainnya. Mereka menjadi seperti seorang
maling yang diam-diam menunjukkan aksi. Setiap kali mereka membuat grafiti, di
pagi hari selalu ada petugas yang membersihkan grafiti itu. Tembok-tembok telah
penuh dengan gambar dan tulisan tentang perjuangan. Namun seketika para petugas
berbaju ungu segera membersihkan tembok itu dengan cat biru ataupun cat
berwarna lainnya.
“No Poster” dicoret dan diganti dengan “No
Vultures”. Mereka menyuarakan anti burung bangkai yang menjadi simbol pemimpin
yang serakah. NGAMWE, MANGATI, KIGEUGEU, MAFISI, BONOKO, GHASIAH.
“Grafiti adalah sesuatu yang lebih dari
radikal, itu lebih dari sebuah konfrontasi di depan wajahmu.”
***
Topi hijau lumut telah terpasang,
sweater hitam berlambang burung bangkai yang dicoret telah menempel di tubuh, tangan
menggenggam kendali dan mesin pun dinyalakan. Boniface menuju Naivasha, 85 Km
dari Nairobi. Ia akan membuka pameran lagi.
Pameran foto Picha Mtaani itu merupakan
sebuah usaha rekonsiliasi. Butuh suara yang bijaksana dalam pemilu dan menyembuhkan
negara ini.
“Suatu hari kita berhenti berpikir
tentang diri kita masing-masing. Pada hari itu Kenya akan dipenuhi kedamaian,”
seorang dengan kemeja putih berkata mantap sambil mengepalkan tangan usai
melihat pameran foto.
Tangannya memangku dagu, alis mengernyit
dengan sorot mata tajam. Seorang anak berkalung rosario memandang jauh ke arah foto
Mwai Kibaki. Tidak lama, ia berlalu, meninggalkan sejuta pertanyaan dan
tentunya sejuta harapan.
Seorang komisaris daerah memutuskan
untuk menghentikan pameran karena foto-foto terasa begitu sensitif. Satu per
satu foto dicopot dari pagar. Koordinator pameran, Irene Kui seperti terpukul. Wajahnya
lesu dan air mata tak kuasa mengalir dari mata coklatnya. Mereka harus mengembalikan
foto-foto itu ke dalam truk dan kembali
ke Nairobi.
***
Kebun belakang terlihat berbeda. Boniface
dan tim mempersiapkan 49 peti mati yang
mwelambangkan politisi yang kebal hukum dan masih menikmatinya sejak era
kemerdekaan. “Kubur Burung Bangkai dengan Suaramu,” tulisan yang tergores di
atas peti mati itu.
“Revolusi
tidak terjadi di Nariobi saja, atau di rumahku saja, melainkan harus terbentang
di seluruh negara. Maka kita butuh banyak orang yang percaya dengan apa yang sekarang
sedang kita coba lakukan,” kata Bonnie mantap.
Sebuah truk membawa Boniface dan 49 peti
itu ke sebuah tanah lapang di tengah kota. Boniface tidak sendiri. Puluhan bahkan
ratusan orang telah memadati tempat itu. Semua menyuarakan arti kebebasan,
menginginkan Kenya yang baru.
“Saya di sini karena saya tidak ingin
adanya impunitas kembali”, ujar seorang bapak dengan tulisan “Sauti Yangu Kura Yangu Maisha Yetu” di
tangannya.
Peti-peti mati itu telah dikeluarkan, dibawa
menuju gedung parlemen. Mereka berteriak-teriak , “Kenya adalah Rumah kita!
Kenya adalah rumah kita! Kenya adalah rumah kita!”
“Pemimpin-pemimpin itu harus
mengembalikan apa yang mereka ambil” sebuah poster dipegang seorang anak kecil
dengan 2 bendera Kenya di ujungnya.
Pagar tinggi membendung para demonstran
masuk ke dalam. Boniface mencoba mengendalikan suasana. “Kita tidak bisa masuk
ke dalam!”
“Pencuri! Pencuri! Pencurii!” Teriak
para demonstran lainnya.
“Tolong jangan lemparkan peti itu! Kita
di sini untuk meninggalkan petinya, jangan dilempar. Kita akan meremediasi
situasi melalui suara kita pada pemilu. Kita bukanlah hooligans. Kita bukanlah
seorang yang bengis, kita menginginkan sebuah revolusi pemilu yang damai.”
Peti-peti mati ditaruh menyandar di
pagar gedung parlemen. Masing-masing peti tertulis nama-nama politisi, kasus-kasus
impunitas, dan lain-lain. Semua berlambangkan anti burung bangkai.
Politisi keluar namun Boniface tetap
mengendalikan situasi. “Kita datang atas nama kedamaian”. Lima belas menit
kemudian, aparat dan beberapa politisi memasukkan peti-peti tersebut ke dalam
truk.
“Kita tidak akan pernah kehilangan
harapan. Perubahan tidak datang dalam satu malam. Mungkin apa yang kulakukan hari
ini akan disempurnakan oleh anak-anakku,” ujar pria berumur 29 tahun itu.
Ignatius Fajar Santoso
*Terinspirasi
dari video “KENYA RISING” – Al Jazeera
Semoga pemuda
Indonesia dapat mengobarkan semangat yang sama dengan pemuda Kenya.
Ini semua demi bangsa yang lebih baik.
Ad Maiorem Dei Gloriam
Ini semua demi bangsa yang lebih baik.
Ad Maiorem Dei Gloriam
2 comments:
Tulisan yg menarik!
Terima kasih pak.. semoga pemuda Indonesia menemukan caranya sendiri untuk menjadikan bangsa ini ke arah yang lebih baik..
Post a Comment