Friday, March 1, 2013

Revolusi Menerjang Burung Bangkai



Boniface Mwangi
Gedung-gedung menjulang tinggi. Cuaca tidak terlalu panas, juga tidak terlalu mendung, sangat cocok untuk beraktifitas. Jalanan terlihat lengang meski dihimpit bangunan-bangunan raksasa. Kota Nairobi, ibukuta Negara Kenya itu terlihat menampilkan suasana kota yang nyaman untuk sebagai tempat tinggal.

Namun yang terjadi tidak seperti yang dibayangkan. Kenyamanan hanya menjadi mimpi di siang bolong. Gedung-gedung menjulang tinggi di antara rumah-rumah kumuh yang memadati sebagian besar wilayah Kenya. Negara dengan luas 580,000 km2   itu sedang dilanda krisis.   Hampir seluruh masyarakat Kenya hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapat satu Dolar Amerika per hari. Diperkiran hampir satu juta dollar lenyap karena korupsi pada tahun 2002 sampai 2005.

“Para politikus sedang menikmati minum teh bersamaan ketika kita membunuh satu sama lainnya.” Ujar seorang warga. Tepat jam sepuluh pagi, orang-orang berkumpul di tengah kota Nairobi. Mereka memandang sebuah tembok dengan gambar-gambar yang dilukiskan di sana. Sebuah burung bangkai berpakaian seorang politikus menjadi sorotan utama.

“Saya adalah seorang pemimpin. Saya merampas, memperkosa, membakar, dan membunuh dengan kekuasaan saya. Saya mencuri pajak mereka, merampas tanahnya, tetapi para idiot itu akan tetap mendukung saya”.

Demikian ungkapan yang tertulis di tembok tersebut. Kata-kata yang terlontar dari mulut si burung bangkai yang menyamar sebagai politikus.

 Ini adalah sebuah penghinaan! Sebuah aksi menentang pemerintah!

Seseorang dengan blazer hitam tampak terperangah. Senyum kecil dari bibirnya merekah.  “Anak-anak ini berbicara tentang kebenaran. Ini adalah sebuah kebenaran,” ujarnya.

“Kami idiot. Para idiot adalah para pendukung,” timpal seorang di sudut yang lain disertai dengan sebuah tawa. Ia mengakui bahwa tidak lain ia adalah seorang idiot. 
***
Memakai jas hitam kebiruan dan dasi motif kotak-kotak biru abu-abu, memegang sebuah kitab suci sebagai saksi atas sumpahnya, Mwai Kibaki disahkan sebagai presiden setelah memenangkan pemilu pada Desember 2007.

Oposisi berteriak. Mereka menolak terpilihnya Kibaki menjadi presiden. Mereka mengobarkan kekerasan di Kenya. Raut wajah menyeramkan, berteriak dengan mata melotot, mulut menganga berteriak-teriak.
 Korban kembali berjatuhan, seorang dengan kepala berdarah digotong ke tempat lebih aman.  Seorang berbaju merah membawa golok di tangan kanan, seorang lagi membawa sekop sebagai senjatanya. Ratusan orang mengangkat tangan dengan senjata masing-masing. Kepulan debu membuat wilayah yang kumuh itu semakin terlihat hancur.

Seorang ibu dengan baju biru bercelana merah terhempas di tanah, menangis meratapi kerusuhan yang terjadi. Api berkobar di mana-mana. Kota itu hancur, tidak ada lagi bangunan tersisa. Sudah lebih dari 1.100 orang terbunuh dan lebih dari 600.000 orang kehilangan tempat tinggal. Hanya tenda-tenda berwarna putih yang menjadi perkemahan korban kerusuhan. Tenda itu sama sekali tidak bagus, berjejer tidak teratur di atas tanah-tanah lapang.
***
Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam. Boniface Mwangi. atau biasa dipanggil Bonnie, berkumpul bersama beberapa orang. Mereka merencanakan sebuah aksi yang akan merubah peta panggung politik dan akan menjadi sejarah baru Negara Kenya.

“Kami mencoba untuk berimprovisasi. Ini adalah graffiti pertama kami dan sangat tidak terorganisasi. Kami akan secepatnya melakukan ini dan selama ini illegal, kami memiliki sebuah tantangan,” ujar Boniface dengan syal motif Timur Tengah yang melekat di lehernya. Matanya menancapkan keyakinan.

Waktu berjalan, malam semakin larut. Boniface bersama tim menuju pusat kota. Mereka mencari dinding tinggi yang dapat menjadi kanvas. Layar LCD telah dinyalakan, mereka segera menciptakan graffiti tentang realita yang terjadi di dunia politik Kenya. Mereka menciptakan simbol burung bangkai berpakaian politikus.
“Tak sabar bagiku menunggu jam sepuluh pagi dan orang-orang akan melihat hal ini.”
***
Satu minggu kemudian setelah kejadian mural itu, para politisi mendekati Bonnie dan mengajaknya untuk bekerja sama. Uang dan masa depan menjadi jaminan. Namun dengan tegas Bonnie mengatakan tidak. Hal ini mengundang masalah baru baginya.

Langit kota masih terlihat cerah tetapi kali ini Bonnie harus berurusan dengan polisi. Dengan modal sebuah komputer di kamarnya, Bonnie membuat status di jejaring sosial bahwa ia dipanggil polisi. Bonnie mengorganisasi orang-orang untuk dating ke kantor polisi Nairobi.

“Burung Bangkai Bertekuk Lututlah! Kenya Bangkit!” Terdengar teriakan-teriakan dari para aktivis yang berjalan menuju kantor polisi Nairobi. Dengan kaos putih bertuliskan “Heal The Nation”, mereka menjemput Bonnie yang saat itu ditahan polisi.

“Kenya adalah rumah kita!” ujar Bonnie ketika dibebaskan tanpa uang denda. “Kita semua melakukan itu, maka kamu tidak akan menangkap satu orang di antara kami.”

Kenya menerapkan selektivitas hukum. Jika kamu miskin, Negara akan menggunakan kekuatan hukum yang penuh. Namun jika kamu kaya dan telah mencuri banyak uang, maka mereka akan memberikanmu perlindungan.

Asbes-asbes menjadi pemandangan dominan. Sebuah bambu dengan cat merah mencuat dari sebuah rumah. Sampah-sampah berserakan. Bonnie memandang kota itu dari sebuah dataran tinggi.
 
Sebelum menjadi seorang aktivis, Boniface Mwangi bekerja sebagai seorang jurnalis foto dengan Elijah Kanyi. Mereka meliput tentang Mathare, sebuah perkampungan yang ditempati para korban kerusuhan setelah pemilu Desember 2007.

 “Aku sempat memikirkan untuk bunuh diri,” kata Bonnie.

Kota-kota di sekitar pusat episentrum gejolak politik semakin tidak berbentuk. Oposisi bertarung dengan cara kekerasan. Konflik yang semakin meradang ini membalikkan pemikiran Bonnie.
“Daripada membunuh diriku sendiri, mengapa saya tidak keluar dari pekerjaan ini? Saya memiliki foto-foto yang berbicara. Saya dapat menggunakannya sebagai alat untuk membawa rasa empati dari orang-orang Kenya.”

Foto-foto Bonnie tersebar dalam acara pameran Picha Mtaani, bertaburan di 20 sudut kota, dipajang dengan papan hitam. Ada juga foto yang begitu saja ditaruh di atas rumput, ada yang ditempel di pagar besi dan banyak orang melihatnya. 

“Kami menemukan jalan baru untuk mengajak orang-orang Kenya berbicara,” ungkap Bonnie.
Paras yang suram, mata sayu, air mata yang menetes, menghiasi pameran tersebut. Bisu, diam, tanpa suara. Mereka terbawa suasana kerusuhan yang telah memakan korban yang terjadi di Negara mereka sendiri.

“Foto-foto ini akan membayangi mereka,” kata seorang ibu sambil terisak-isak. Seluruh orang yang melihat pameran ini menangis, tidak peduli laki-laki, wanita, atau anak-anak. 

Seorang berjaket abu-abu, bertopi putih dengan kaos bermotif hijau diperkenalkan oleh Bonnie kepada para pengunjung pameran. Ia adalah seorang korban kekerasan. Ia meninggalkan rumah hanya bermodalkan baju yang melekat padanya.

 “Saya realistis bahwa penyembuhan adalah sebuah hal yang penting. Kita butuh untuk menyembukan Negara ini. Tetapi jika kita telah sembuh dan memberikan kembali suara kita kepada orang yang sama, kita berada dalam sebuah masalah.”
***
Sebuah pena dan kertas ukuran A3 terpampang bagi Boniface dan timnya dalam mempersiapkan grafiti selanjutnya, walaupun ada resiko penahanan. 

“Saya benci ketika saya takut. Saya marah dengan ketakutan itu,” kata Bonnie ketika memikirkan tentang resiko yang akan diterima jika ia tertangkap.

“Ketakutan itu baik, hanya seorang paranoid yang bertahan hidup. Ketakutan menjagamu untuk terus hidup,” timpal seorang teman dalam tim Bonnie.

Gambar tentang politisi yang kejam dihadirkan dalam bentuk kartun-kartun berwajah naif, dibalut dengan perut yang buncit dan berbintik-bintik, saling beradu kekuatan satu sama lain, antara koalisi dan oposisi.
Konsep gambar telah jadi, kini saatnya berperang. Amunisi berwujud pilok telah tersedia. Ada yang berwarna merah, putih, coklat, kuning, biru, dan masih banyak lagi.  Selama satu bulan, Boniface dan tim menghasilkan lebih dari 40 jenis grafiti tentang perjuangan warga Kenya.

Malam telah datang. Dengan Van berwarna putih mereka segera menuju Uhurt Highway, Kenyatta Avenue, dan sudut-sudut  kota lainnya. Mereka menjadi seperti seorang maling yang diam-diam menunjukkan aksi. Setiap kali mereka membuat grafiti, di pagi hari selalu ada petugas yang membersihkan grafiti itu. Tembok-tembok telah penuh dengan gambar dan tulisan tentang perjuangan. Namun seketika para petugas berbaju ungu segera membersihkan tembok itu dengan cat biru ataupun cat berwarna lainnya. 

“No Poster” dicoret dan diganti dengan “No Vultures”. Mereka menyuarakan anti burung bangkai yang menjadi simbol pemimpin yang serakah. NGAMWE, MANGATI, KIGEUGEU, MAFISI, BONOKO, GHASIAH.
“Grafiti adalah sesuatu yang lebih dari radikal, itu lebih dari sebuah konfrontasi di depan wajahmu.”
***

Topi hijau lumut telah terpasang, sweater hitam berlambang burung bangkai yang dicoret telah menempel di tubuh, tangan menggenggam kendali dan mesin pun dinyalakan. Boniface menuju Naivasha, 85 Km dari Nairobi. Ia akan membuka pameran lagi.

Pameran foto Picha Mtaani itu merupakan sebuah usaha rekonsiliasi. Butuh suara yang bijaksana dalam pemilu dan menyembuhkan negara ini.

“Suatu hari kita berhenti berpikir tentang diri kita masing-masing. Pada hari itu Kenya akan dipenuhi kedamaian,” seorang dengan kemeja putih berkata mantap sambil mengepalkan tangan usai melihat pameran foto.

Tangannya memangku dagu, alis mengernyit dengan sorot mata tajam. Seorang anak berkalung rosario memandang jauh ke arah foto Mwai Kibaki. Tidak lama, ia berlalu, meninggalkan sejuta pertanyaan dan tentunya sejuta harapan.

Seorang komisaris daerah memutuskan untuk menghentikan pameran karena foto-foto terasa begitu sensitif. Satu per satu foto dicopot dari pagar. Koordinator pameran, Irene Kui seperti terpukul. Wajahnya lesu dan air mata tak kuasa mengalir dari mata coklatnya. Mereka harus mengembalikan foto-foto itu  ke dalam truk dan kembali ke Nairobi.
***
Kebun belakang terlihat berbeda. Boniface dan tim mempersiapkan 49 peti mati  yang mwelambangkan politisi yang kebal hukum dan masih menikmatinya sejak era kemerdekaan. “Kubur Burung Bangkai dengan Suaramu,” tulisan yang tergores di atas peti mati itu.

 “Revolusi tidak terjadi di Nariobi saja, atau di rumahku saja, melainkan harus terbentang di seluruh negara. Maka kita butuh banyak orang yang percaya dengan apa yang sekarang sedang kita coba lakukan,” kata Bonnie mantap.

Sebuah truk membawa Boniface dan 49 peti itu ke sebuah tanah lapang di tengah kota. Boniface tidak sendiri. Puluhan bahkan ratusan orang telah memadati tempat itu. Semua menyuarakan arti kebebasan, menginginkan Kenya yang baru.

“Saya di sini karena saya tidak ingin adanya impunitas kembali”, ujar seorang bapak dengan tulisan “Sauti Yangu Kura Yangu Maisha Yetu” di tangannya.

Peti-peti mati itu telah dikeluarkan, dibawa menuju gedung parlemen. Mereka berteriak-teriak , “Kenya adalah Rumah kita! Kenya adalah rumah kita! Kenya adalah rumah kita!”

“Pemimpin-pemimpin itu harus mengembalikan apa yang mereka ambil” sebuah poster dipegang seorang anak kecil dengan 2 bendera Kenya di ujungnya.

Pagar tinggi membendung para demonstran masuk ke dalam. Boniface mencoba mengendalikan suasana. “Kita tidak bisa masuk ke dalam!”

“Pencuri! Pencuri! Pencurii!” Teriak para demonstran lainnya.

“Tolong jangan lemparkan peti itu! Kita di sini untuk meninggalkan petinya, jangan dilempar. Kita akan meremediasi situasi melalui suara kita pada pemilu. Kita bukanlah hooligans. Kita bukanlah seorang yang bengis, kita menginginkan sebuah revolusi pemilu yang damai.”

Peti-peti mati ditaruh menyandar di pagar gedung parlemen. Masing-masing peti tertulis nama-nama politisi, kasus-kasus impunitas, dan lain-lain. Semua berlambangkan anti burung bangkai.

Politisi keluar namun Boniface tetap mengendalikan situasi. “Kita datang atas nama kedamaian”. Lima belas menit kemudian, aparat dan beberapa politisi memasukkan peti-peti tersebut ke dalam truk.

“Kita tidak akan pernah kehilangan harapan. Perubahan tidak datang dalam satu malam. Mungkin apa yang kulakukan hari ini akan disempurnakan oleh anak-anakku,” ujar pria berumur 29 tahun itu.



Ignatius Fajar Santoso
 *Terinspirasi dari video “KENYA RISING” – Al Jazeera
Semoga pemuda Indonesia dapat mengobarkan semangat yang sama dengan pemuda Kenya.
Ini semua demi bangsa yang lebih baik.
Ad Maiorem Dei Gloriam

2 comments:

Terima kasih pak.. semoga pemuda Indonesia menemukan caranya sendiri untuk menjadikan bangsa ini ke arah yang lebih baik..