Dalam kesempatan kali ini, saya mencoba memaparkan mengenai paradigma/sudut pandang mengenai Ujian Nasional di Indonesia. Saya akan memaparkan hal-hal yang berkaitan jika Ujian Nasional digantikan dengan Ebtanas atau lebih tepatnya kembali ke Ebtanas.
Pro
: UN diganti EBTANAS
Melihat EBTANAS sebagai bagian dari paradigma
konstruktif dunia pendidikan Indonesia, artinya EBTANAS akan membawa dinamika
pendidikan Indonesia ke dalam prioritas “proses”, bukan “hasil” (hasil/nilai
tidak menjadi prioritas)à Hal ini ditunjang dengan setiap
evaluasi yang dilakukan oleh dinas pendidikan beserta seluruh perangkat
pendidikan.
Belajar hanya berorientasi pada kelulusan atau nilai UN. Akibatnya, proses pembelajaran
hanya ditekankan pada aspek kognitif, aspek-aspek lain seperti aspek afektif
dan psikomotor terabaikan.
Tiap sekolah mengadakan kegiatan belajar mengajar tambahan (pengayaan)
diluar jam efektif, kadang berlangsung selama lebih dari enam bulan, melebihi kapasitas kemampuan seorang siswa dalam menerima pelajaran secara
efektif
Berangkat dari paradigma konstruktivisme atau
humanistic, bahwa dibutuhkan adanya sisi evaluasi reflektif dari segala sesuatu
yang ada, begitu pula dalam dunia pendidikan Indonesia. Ebtanas akan meninjau
segala kelemahan dan kelebihan dari kemampuan siswa sehingga dinas pendidikan
dapat menyesuaikan sistem yang akan dipakai dalam tahun-tahun berikutnya
(melihat dari realita nyata di lapangan à tidak hanya
kognitif, namun sisi lain juga diperhatikan).
Melihat
sisi sosial :
UN hanya akan membuat tekanan kepada para siswa yang
mengikutinya sehingga ada ketakutan jika tidak lulus. Bandingkan dengan
Ebtanas: tamat dan lulus tidak
ada beban psikologis, melihat budaya zaman dulu juga. Saat ini UN menuntut siswa harus
lulus. Jika tidak ikut paket C akan menjadi beban psikologis sehingga anak menjadi malu dan akhirnya mencari jalan pintas/mencontek
UN bertentangan dengan nilai-nilai maupun
norma-norma dalam masyarakat yang mengutamakan Hak Asasi Manusia sebagai poin
utama. UN akan menjadikan manusia sebagai objek pendidikan, tidak lagi sebagai
subjek. Soal ujian dirasa sebagai musuh yang harus dihancurkan/ditaklukan, siswa dapat menempuh UN dengan berbagai cara, seperti beli soal/mencontek,dll.
Sisi lain yang bertentangan dengan HAM adalah ketika
ujian nasional sebagai penentu kelulusan, apakah proses pembelajaran selama 3
tahun (6tahun untuk SD) ditentukan oleh ujian tersebut?
Selain itu, UN akan mengusik sisi sosio ekonomi dalam masyarakat :
bahwa akan timbul paradigma yang kaya akan lulus (karena
bisa menggunakan berbagai cara) dan yang miskin akan memiliki peluang lulus
yang kecil (lihat konteks bahwa yang miskin ini adalah anak yang kesulitan
dalam sisi kognitif). Tidak hanya itu, proses perputaran uang ketika ujian
nasional akan melambung tinggi à siswa harus beli buku, LKS, dll à
juga untuk membayar ujian à belum lagi beli soal. UN pun akan menguras uang rakyat: uang
jaga untuk para penjaga, peluar korupsi dari situ, pengadaan kurikulum baru,
dll.
Sisi sosial yang lain adalah UN akan berdampak pada
sisi kriminal dalam masyarakat, artinya tekanan yang berada dalam diri siswa
terkadang akan meluap ketika ia tidak mampu menahannya, misalnya dengan bunuh
diri, mencuri untuk beli soal, masuk ke dalam pergaulan bebas ketika depresi
dalam menghadapi maupun ketika tidak lulus UN.
Maka dari itu, ebtanas ditawarkan sebagai sebuah
solusi atas segala permasalahan sosial yang dikarenakan oleh UN. Ebtanas
sebagai bagian dari sebuah sistem diharapkan akan menciptakan pola kehidupan
yang lebih baik karena di situ siswa akan belajar semakin dewasa dalam proses
menjadi warga masyarakat yang baik, yang akan selalu menciptakan equilibrium
sosial (keseimbangan sosial).
Kontra
UN diganti ebtanas
UN dipandang sebagai penyempurnaan dari ebtanas.
Kata ebtanas hanya mengacu pada kata “evaluasi” yang sejatinya dalam UN pun
akan selalu ada evaluasi dari diknas. Selain itu, dalam UN terdapat
standarisasi mutu yang akan mengantarkan kebijakan pemerintah dalam menentukan
kurikulum.
Standarisasi mutu tersebut akan berdampak positif
karena akan membantu para guru dalam menentukan tujuan/goal yang akan dicapai
dalam proses pembelajaran. Standarisasi mutu juga akan membuat banyak sekolah
terbelakan menjadi maju karena terpacu akan standard tersebut à
fasilitas akan menjadi lebih memadai, tingkat kemampuan guru yang semakin baik,
dll.
Jika ebtanas sungguh menggantikan UN, maka proses
sosial dalam masyarakat akan berubah drastis. Para siswa akan kehilangan
motivasi dalam belajar karena berapa pun nilai yang akan dicapai tidak akan
mempengaruhi (paling tidak dalam hal tinggal kelas), dengan kata lain siswa
akan menjadi malas. Ketika sudah seperti itu, aspek “pemalas” tersebut akan
berpengaruh/menyebar atau bahkan menjadi budaya yang dilestarikan. Jika sudah
seperti ini, bangsa Indonesia tidak akan maju karena masyarakatnya tidak
memiliki tujuan yang hendak dicapai.
UN akan menjadikan gambaran kepada masyarakat bahwa
adanya sistem pendidikan yang baik, akan ada nilai/value yang akan dicapai
siswa secara transparan (masuk ke dalam data), berbeda dengan ebtanas yang
tidak sepenuhnya transparan (“permainan” sekolah dengan diknas), kasarannya,
nilai dapat direkayasa.Hal ini membangun paradigma buruk terhadap
dunia pendidikan Indonesia
Dibutuhkan adanya
reformasi pendidikan. Utamakan proses pembangunan karakter dari sekolah-sekolah
sehingga ketika pendidikan karakter ini
telah tercapai maka dengan sendirinya masalah” dalam UN akan bergeser
bahkan bisa hilang, seperti mencontek, beli soal, UN tidak perlu dijaga polisi,
dll.
0 comments:
Post a Comment