Thursday, February 21, 2013

Antara UN dan Ebtanas


Dalam kesempatan kali ini, saya mencoba memaparkan mengenai paradigma/sudut pandang mengenai Ujian Nasional di Indonesia. Saya akan memaparkan hal-hal yang berkaitan jika Ujian Nasional digantikan dengan Ebtanas atau lebih tepatnya kembali ke Ebtanas.

Pro : UN diganti EBTANAS
Melihat EBTANAS sebagai bagian dari paradigma konstruktif dunia pendidikan Indonesia, artinya EBTANAS akan membawa dinamika pendidikan Indonesia ke dalam prioritas “proses”, bukan “hasil” (hasil/nilai tidak menjadi prioritas)à Hal ini ditunjang dengan setiap evaluasi yang dilakukan oleh dinas pendidikan beserta seluruh perangkat pendidikan.
Belajar hanya berorientasi pada kelulusan atau nilai UN. Akibatnya, proses pembelajaran hanya ditekankan pada aspek kognitif, aspek-aspek lain seperti aspek afektif dan psikomotor terabaikan.
Tiap sekolah mengadakan kegiatan belajar mengajar tambahan (pengayaan) diluar jam efektif, kadang berlangsung selama lebih dari enam bulan, melebihi kapasitas kemampuan seorang siswa dalam menerima pelajaran secara efektif  

Berangkat dari paradigma konstruktivisme atau humanistic, bahwa dibutuhkan adanya sisi evaluasi reflektif dari segala sesuatu yang ada, begitu pula dalam dunia pendidikan Indonesia. Ebtanas akan meninjau segala kelemahan dan kelebihan dari kemampuan siswa sehingga dinas pendidikan dapat menyesuaikan sistem yang akan dipakai dalam tahun-tahun berikutnya (melihat dari realita nyata di lapangan à tidak hanya kognitif, namun sisi lain juga diperhatikan).
Melihat sisi sosial :
UN hanya akan membuat tekanan kepada para siswa yang mengikutinya sehingga ada ketakutan jika tidak lulus. Bandingkan dengan Ebtanas:  tamat dan lulus tidak ada beban psikologis, melihat budaya zaman dulu juga. Saat ini UN menuntut siswa  harus lulus.  Jika tidak ikut paket C akan menjadi beban psikologis sehingga anak menjadi malu dan akhirnya mencari jalan pintas/mencontek
UN bertentangan dengan nilai-nilai maupun norma-norma dalam masyarakat yang mengutamakan Hak Asasi Manusia sebagai poin utama. UN akan menjadikan manusia sebagai objek pendidikan, tidak lagi sebagai subjek. Soal ujian dirasa sebagai musuh yang harus dihancurkan/ditaklukan, siswa  dapat menempuh UN dengan berbagai cara, seperti beli soal/mencontek,dll.
Sisi lain yang bertentangan dengan HAM adalah ketika ujian nasional sebagai penentu kelulusan, apakah proses pembelajaran selama 3 tahun (6tahun untuk SD) ditentukan oleh ujian tersebut?
Selain itu, UN akan mengusik sisi sosio ekonomi dalam masyarakat :
bahwa akan timbul paradigma yang kaya akan lulus (karena bisa menggunakan berbagai cara) dan yang miskin akan memiliki peluang lulus yang kecil (lihat konteks bahwa yang miskin ini adalah anak yang kesulitan dalam sisi kognitif). Tidak hanya itu, proses perputaran uang ketika ujian nasional akan melambung tinggi à siswa harus beli buku, LKS, dll à juga untuk membayar ujian à belum lagi beli soal. UN pun akan menguras uang rakyat: uang jaga untuk para penjaga, peluar korupsi dari situ, pengadaan kurikulum baru, dll.
Sisi sosial yang lain adalah UN akan berdampak pada sisi kriminal dalam masyarakat, artinya tekanan yang berada dalam diri siswa terkadang akan meluap ketika ia tidak mampu menahannya, misalnya dengan bunuh diri, mencuri untuk beli soal, masuk ke dalam pergaulan bebas ketika depresi dalam menghadapi maupun ketika tidak lulus UN.
Maka dari itu, ebtanas ditawarkan sebagai sebuah solusi atas segala permasalahan sosial yang dikarenakan oleh UN. Ebtanas sebagai bagian dari sebuah sistem diharapkan akan menciptakan pola kehidupan yang lebih baik karena di situ siswa akan belajar semakin dewasa dalam proses menjadi warga masyarakat yang baik, yang akan selalu menciptakan equilibrium sosial (keseimbangan sosial).

Kontra UN diganti ebtanas
UN dipandang sebagai penyempurnaan dari ebtanas. Kata ebtanas hanya mengacu pada kata “evaluasi” yang sejatinya dalam UN pun akan selalu ada evaluasi dari diknas. Selain itu, dalam UN terdapat standarisasi mutu yang akan mengantarkan kebijakan pemerintah dalam menentukan kurikulum.
Standarisasi mutu tersebut akan berdampak positif karena akan membantu para guru dalam menentukan tujuan/goal yang akan dicapai dalam proses pembelajaran. Standarisasi mutu juga akan membuat banyak sekolah terbelakan menjadi maju karena terpacu akan standard tersebut à fasilitas akan menjadi lebih memadai, tingkat kemampuan guru yang semakin baik, dll.
Jika ebtanas sungguh menggantikan UN, maka proses sosial dalam masyarakat akan berubah drastis. Para siswa akan kehilangan motivasi dalam belajar karena berapa pun nilai yang akan dicapai tidak akan mempengaruhi (paling tidak dalam hal tinggal kelas), dengan kata lain siswa akan menjadi malas. Ketika sudah seperti itu, aspek “pemalas” tersebut akan berpengaruh/menyebar atau bahkan menjadi budaya yang dilestarikan. Jika sudah seperti ini, bangsa Indonesia tidak akan maju karena masyarakatnya tidak memiliki tujuan yang hendak dicapai.
UN akan menjadikan gambaran kepada masyarakat bahwa adanya sistem pendidikan yang baik, akan ada nilai/value yang akan dicapai siswa secara transparan (masuk ke dalam data), berbeda dengan ebtanas yang tidak sepenuhnya transparan (“permainan” sekolah dengan diknas), kasarannya, nilai dapat direkayasa.Hal ini membangun paradigma buruk terhadap dunia pendidikan Indonesia
Dibutuhkan adanya reformasi pendidikan. Utamakan proses pembangunan karakter dari sekolah-sekolah sehingga ketika pendidikan karakter ini  telah tercapai maka dengan sendirinya masalah” dalam UN akan bergeser bahkan bisa hilang, seperti mencontek, beli soal, UN tidak perlu dijaga polisi, dll.



0 comments: