Friday, February 22, 2013

Antara Jubah dan Cinta


Ketika sang surya mengintip dalam peraduannya dan embun pagi masih terasa segar, di tepi pantai pasir putih, seorang lelaki paruh baya sedang asik menghisap rokoknya. Lamunannya melayang hingga melewati ruang dan waktu. Desiran ombak semakin membuatnya terbang tinggi menembus angannya yang tak kunjung tiba.
Bratasena duduk terdiam. Matanya menatap lurus ke arah matahari yang sebentar lagi meninggalkan pantai. Hidup memang tidak bisa diduga, segala yang terjadi tidak bisa diprediksi sebelumnya. Seperti pasir yang terdampar di tepi pantai, kehidupan juga memiliki makna yang tak dapat dihitung dengan tepat. Hukum relativisme ternyata memang mewarnai setiap lekuk kehidupan. Brata, seorang anak preman tak kuasa menahan tangis dalam sepinya. Semua yang terjadi dalam hidup ini bukan kebetulan, pikirnya.
“Brata, sedang apa kamu di sini?” tanya Pandu tiba-tiba. Brata segera menghapus air mata yang sempat terjatuh membasahi lekuk pipinya.
“Nggak, gak ada apa-apa kok,” jawab Brata berusaha menutupi apa yang sesungguhnya terjadi.
“Sudahlah, coba kamu ceritakan apa masalahmu. Tadi aku lihat kok kamu menangis,” kata Pandu kepada Brata melihat temannya seperti sedang berada dalam kesulitan.
“Begini Du, aku bingung mengapa orang seperti aku bisa-bisanya tertarik untuk menjadi seorang pastur. Padahal latar belakan kehidupanku seperti ini, bisa dikatakan sebagai orang yang tidak baik. Kerjaku hanya mabuk-mabukan dan melakukan hal-hal lain yang hanya memuaskan nafsuku saja,” Brata mencoba menguraikan permasalahnya perlahan.
Menjadi seorang pastur memang bukan perkara biasa. Tradisi Katolik yang begitu baku mengharuskan seorang Pastur memiliki tiga kaul yakni kaul ketaatan, kemiskinan dan keperawanan. Jadi memang tidak masuk akal bila seorang Brata yang memiliki latar belakang yang buruk bisa memiliki rasa untuk menjadi seorang pastur.
Matahari sudah tidak lagi menampakkan sinarnya, namun Brata dan Pandu masih duduk di tepi pantai. Mereka bercakap-cakap satu sama lain.
“Pandu, bagaimana kalo aku masuk biara?” tanya Brata kepada Pandu yang sudah menjadi temannya dari kecil hingga saat ini.
“Kamu yakin Brat?”
“Sesuatu jika tidak dicoba sama saja sia-sia, Du.”
“Bukan begitu juga, keyakinan itu modal penting untuk melangkah lebih jauh ke depan.”
“Ya benar sih, tapi hati gak pernah salah Du. Aku ingin masuk biara untuk setidaknya mendengar suara hati niraniku sendiri.”
“Baiklah, coba kamu tanya dulu pada orangtuamu,” nasihat Pandu yang ternyata menjadi awal bagi Brata untuk melihat ke dunia yang tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Brata.
Keheningan adalah keramaian abadi yang pernah ada. Ketika seorang hening, maka dengan itu ia akan berada dalam keramaian yang tak ada batasnya. Di sanalah kekayaan abadi berada, dalam keheningan. Brata pun perlahan menyadarinya. Ia sering berada dalam keheningan di tepi pantai. Rumahnya yang tidak jauh dari pantai itulah yang membuatnya memilih pantai menjadi tempat yang paling nyaman untuk berefleksi.
Kehidupan ini begitu kompleks. Dosa adalah sesuatu yang pasti dilakukan oleh tiap manusia. Brata sadar bahwa dirinya adalah manusia yang buruk. Masa lalu yang suram sangat berpengaruh terhadap dirinya saat ini. Brata dibesarkan dalam keluarga yang tidak jelas. Sampai saat  ini ia pun tidak tahu siapa ibu kandungnya. Ia dibesarkan oleh ayahnya yang dikenal sebagai seorang preman.
Waktu berlalu begitu cepat dan di suatu senja di mana Brata selalu duduk termenung menatap matahari yang hendak dalam peraduannya, datanglah seroang gadis menhampiri Brata.
“Hai, masih kenal aku gak?” tanya gadis itu kepada Brata.
“Dewi?”
“Iya, masa kamu lupa?”
“Bener ini Dewi?”
“Iya, ini aku Dewi yang dulu kamu tolong saat aku tenggelam. Masa kamu lupa.”
“Aku ingat kok Wi. Bagaimana sekarang kabarnya?” tanya  Brata kepada Dewi.
“Aku baik-baik saja kok. Sebenarnya aku mau ke sini ingin berbicara kepadamu Brata,” jawab Dewi yang membuat Brata bingung. Tidak biasanya ada perempuan yang kenal padanya namun sekarang ada seorang gadis yang berada sangat dekat dengannya.
“Ada apa Wi?” tanya Brata dengan hati yang bertanya-tanya. Bersamaan dengan matahari yang tinggal sepucuk saja menyembul mungil di garis horizon, Dewi mencium pipi Brata. Tidak ada suara. Semua terbawa pada emosi masing masing. Saat itu adaah saat yang paling dikenang oleh Dewi sebelum semuanya tak menjadi miliknya lagi.
Cinta adalah suatu misteri. Tidak seorang pun di dunia ini yang tidak luput dari yang namanya cinta karena manusia memang diciptakan secara eksistensial bersamaan dengan lahirnya cinta itu sendiri. Senja itu menjadi abu-abu bagi Dewi karena sejak saat itu Brata, seorang yang liar namun memiliki hati bagai samudera memberikan sedikit harapan padanya namun ada sesuatu yang menutupi perasaannya kepada Dewi, yakni impiannya, cita-citanya, keinginannya, sebuah rasa untuk menjadi alat bagi Tuhan di dunia ini.
“Mengapa kamu menciumku?” tanya Brata kepada Dewi sesaat setelah semuanya kembali kea lam sadar mereka. Desiran angin senja membawa segala perasaan Dewi kepada langit, ingin rasanya memuntahkan rasa yang memang mengalir di hatinya untuk Brata setelah setengah tahun yang lalu Brata menolong Dewi yang tenggelam terseret ombak yang begitu besar. Sejak saat itu, Dewi memiliki cinta yang sulit untuk diungkapkannya. Hari-harinya dihabiskan di tepi pantai untuk sekedar memandang Brata dari kejauhan.
“Brata, Aku mencintaimu,” jawab Dewi dengan hati yang berdebar. Setelah setengah tahun lamanya ia ingin sekali mengungkapkan kalimat itu kepada Brata, akhirnya hari ini hal itu terjadi. Sesuatu yang menjadi impian Dewi, bersama Brata menjalani kehidupan yang memang sarat dengan tanda tanya.
“Mengapa baru sekarang kamu berkata padaku, Wi?”
“Memang kenapa? Terlalu lama yah?”
“Untuk saat ini ada sebuah rasa yang bergejolak dalam hatiku. Mungkin kamu pun tidak menduga perasaan yang ada padaku. Dahulu, setengah tahun yang lalu aku memang menyadari sebuah rasa yang tak bisa kudefinisikan padamu. Ada sebuah rasa bagiku untuk memilikimu, namun aku sadar bahwa aku manusia yang penuh dengan kekuarangan. Aku tak pantas untukmu, Wi,” ungkap Brata menjelaskan perasaannya dahulu kala.
“Maaf untuk itu Brat, aku tak kuasa mengungkapkan rasaku padamu. Aku begitu naïf sehingga aku hanya bisa berada jauh, mengambil jarak denganmu. Sebenarnya hari-hariku pun kuhabiskan di tempat ini. Memandangmu dari kejauhan. Aku tak punya nyali yang besar untuk berada di dekatmu,” kata Dewi dengan nada terbata-bata. Ia merasa terharu ketika mengetahui bahwa setengah tahun yang lalu Brata punya rasa yang sama dengannya, namun itu setengah tahun yang lalu. Bagaimana dengan sekarang? Apakah Brata tetap mencitaiku? Apakah Brata memiliki rasa cinta yang sama kepadaku? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di kepala Dewi, sulit rasanya untuk tidak menahan butiran-butiran air mata yang mulai menetes menuruni setiap lekuk pipinya.
“Maafkan aku Wi, aku tidak tahu harus berbuat apa. Seiring berjalannya waktu perasaanku padamu tenggelam bersamaan dengan derai air di pantai ini menuju samudera luas. Aku tak lagi seperti dulu yang mempunyai perasaan itu. Terima kasih bila kamu mau jujur padaku pada hari ini. Namun sekali lagi maaf karena aku mempunyai cinta lain yang begitu kuat menarikku hingga tak kuasa bagiku untuk menolaknya,” jelas Brata kepada Dewi yang perlahan mengambil jarak dengan Brata.
“Iya aku tahu, Brat. Ini memang salahku. Aku harus menunggu begitu lama untuk memiliki keberanian mengatakan hal ini padamu. Memang cinta itu tidak bisa dipaksakan sekaligus harus dipaksakan. Lebih baik aku mengatakan hal ini padamu daripada aku menahannya lebih lama lagi. Aku mengerti kok Brat bahwa memang sulit mengharapkan cinta yang tak kunjung datang.  Terima kasih karena pernah mencintaiku,” kata Dewi dengan penuh gejolak jiwa.
“Terima kasih juga karena boleh mencintaimu. Perasaan hanyalah sebuah bias yang tidak bisa untuk dipungkiri. Aku tahu bahwa rasa itu tidak pernah berbohong. Maafkan aku Wi, hal ini terlalu sulit bagiku karena ada kekuatan lain yang lebih besar dari rasa cinta itu sendiri. Aku memutuskan untuk menjadi seorang Pastur meskipun aku juga memiliki rasa itu padamu,” jelas Brata. Mendengar perkataan itu, Dewi pun kaget karena tidak mengira alasan Brata menolak cintanya. Dia tahu bahwa menjadi seorang Pastur adalah sebuah hal yang sangat jarang terjadi.
Hari telah menjadi gelap dan dua insan tetap duduk berdampingan memandang ombak yang perlahan semakin pasang. Bulan purnama telah menggantikan sang surya yang sedang tertidur pulas di belahan bumi yang lain. Malam itu adalah malam yang penuh dengan kasih mesra seorang calon Pastur kepada seorang wanita yang duduk di sampingnya. Mungkin ini adalah malam terakhir baginya untuk berada di dekat seorang wanita dengan perasaan cinta yang tak terselami. Memang cinta begitu rumit  untuk dirumuskan karena memang tak ada ilmu pasti yang dapat menjangkaunya. Cinta seperti samudera yang tak mungkin dapat ditampung oleh pikiran yang hanya sebesar botol. Cinta begitu luas dan tak terbendung maknanya. Biarah sang Pencipta cinta yang tahu dengan jelas siapa cinta itu sendiri.
“Maafkan aku ya Wi, keputusanku sudah bulat. Aku merasa terpanggil untuk menjadi seorang Pastur. Perasaan itu tak bisa lagi kututup-tutupi. Ada hal tak terlihat yang selalu memanggilku untuk meninggalkan segala yang kupunya demi segala yang akan kuperoleh dalam kebahagiaanku menjadi seorang Pastur. Maafkan aku sekali lagi,Wi,” begitulah Brata mencoba menguraikan segala perasaannya untuk menjadi seorang Pastur.
Dewi tak kuasa menahan tangis yang semakin lama semakin menjadi. Namun ia sadar bahwa perasaannya bertepuk sebelah tangan. Cintanya tak lagi disambut oleh cinta seorang Brata tetapi ia sekarang mengerti bahwa cinta itu seperti anak panah yang dilepas. Jika anak panah itu selalu berada dalam busurnya ia tidak akan pernah tahu kemana arah tujuan hidupnya sekaligus menyesengsarakan busurnya itu karena harus menahannya, namun ketika anak panah itu dilepas ia akan mencari sendiri jalan hidupnya dan itu membuat busur lega meskipun arah anak panah itu tidak sesuai dengan kehendaknya.
“Brata, aku mengerti kok dengan ini semua. Tidak ada yang bisa menghalangimu untuk sebuah cita-cita itu. Aku tidak mungkin bersaing dengan Tuhan yang telah mencintaimu lebih dahulu dari pada aku. Terima kasih ya Brat karena kamu boleh menjadi bagian dalam hari-hariku. Mungkin ini malam terakhir bagi kita untuk berdua bersama menikmati pantai yang indah dan penuh kenangan ini. Terima kasih, Brat,” ungkap Dewi yang memang mengerti akan perasaan Brata yang begitu luhur.
Keras, total dan merdeka adalah sifat yang selalu dimiliki dalam cinta. Ia begitu keras melebihi batu apapun, total dalam berprinsip dan merdeka dalam bertindak. Sejak saat itu Brata pun semakin yakin dengan pilihannya untuk menjadi seorang Pastur. Dengan kemerdekaannya ia telah memutuskan suatu yang berbeda dengan kebanyakan orang. Ia ingin mengabdi seutuhnya kepada Tuhan yang telah mencintainya jauh sebelum dunia dijadikan.
Delapan tahun kemudian Dewi kembali berjumpa dengan Brata. Saat ini situasinya telah berbeda. Di hadapan Brata, terlihat seorang lelaki yang ingin menerima berkatnya untuk kelasngsungan hubungan yang lebih jauh, Brata memberikan sakramen perkawinan kepada Dewi dan calon suaminya. Dengan kebesaran hati Brata menjalankan tugasnya sebagai wakil Tuhan dengan amat baik. Ia tak lagi terbuai dengan masa lalunya dengan Dewi.
“Terima kasih ya Romo Brata. Aku sungguh bahagia hari ini karena telah menerima sakramen yang selamanya akan aku pegang teguh,” ungkap Dewi kepada Brata seusai misa perkawinan itu.
“Tetaplah berada di jalan Tuhan. Cintailah suamimu seperti kamu mencintai dirimu sendiri. Selamat menempuh hari yang baru semoga kamu selalu mengalami kebahagiaan yang selama ini kamu cari.”
“Terima kasih Romo Brata, aku akan selalu pegang janjiku.”
“Amin.”

0 comments: