Bagi sebagian besar umat Katolik
di Indonesia, Gua Maria Sendangsono adalah bagian tak terpisahkan dari
rangkaian ziarah iman mereka. Kisah pembaptisan pribumi pertama di tempat
itu tak lain dipandang sebagai lahirnya
Gereja Perdana di pulau Jawa.
Sendangsono
merupakan nama sebuah sumber air di dusun Semagung, desa Banjaroyo, kecamatan
Kalibawang, kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Lokasinya berada di lereng
selatan bukit Menoreh, sebuah hamparan perbukitan kapur sisi barat Yogyakarta.
Tempat ini berada sekitar 30 kilometer dari kota Magelang dan bisa dicapai
melalui Jalan Godean atau Jalan Magelang.
Nama Sendangsono diambil dari kata Sendang dan
Sono; Sendang berarti mata air, sedangkan kata Sono mau menunjuk pohon Sono
yang letaknya persis di atas sendang tersebut. Sendangsono adalah tanah
kelahiran bagi agama Kristiani di tanah Jawa. Dari sumber air tersebut Romo
Fransiscus Van Lith SJ. ─ seorang Imam Belanda yang berkarya di wilayah Muntilan
─ membabtis 171 pribumi dengan liturgi Katolik pada tanggal 14 Desember 1904.
Meskipun kawasan ini sudah dikenal sejak tahun 1904, namun Sendangsono baru
diresmikan pada tanggal 8 Desember 1929 oleh Pastor Rp. Prennthaler, SJ.
Sendangsono
memiliki kisah tersendiri tentang Gua Maria yang menjadi fokus utama
perziarahan bagi umat Katolik. Patung Bunda Maria di Sendangsono merupakan
hadiah dari Ratu Spanyol. Tidak mudah untuk membawanya ke Sendangsono mengingat
pada saat itu transportasi belum memadai dan jalur yang ditempuh dari Kota
menuju Sendang masih berupa hamparan jalan setapak.
Kawasan Sendangsono ditata ulang oleh Pastor Y.B.
Mangunwijaya pada tahun 1970-an dan pernah mendapatkan penghargaan Aga Khan
Award dari Ikatan Arsitektur Indonesia pada tahun 1991 pada bidang bentuk
bangunan khusus pada kategori penataan lingkungan. Penghargaan tersebut memang
pantas diberikan mengingat keindahan yang dapat kita rasakan di tempat itu.
Bentuk pundak-berundak yang dinamis (mengingat lokasi yang berada di pegunungan)
mampu membawa kita pada rasa kagum serta didukung oleh suasana hening yang
dijaga di tempat itu.
Arsitektur
Ala Romo Mangunwijaya
Bentuk arsitek yang dirancang oleh Pastor Y.B.
Mangunwijaya ini merupakan bangunan yang unik. Jika kita memperhatikan dengan
seksama, ada bentuk anak tangga bersusun selang-seling yang berbentuk segi
enam. Pengunjung juga akan menemukan beberapa bangunan kapel yang memiliki
nama-nama, misalnya ada Kapel Maria yang berisi patung Bunda Maria, Kapel Rasul
yang menceritakan kisah perjuangan 12 rasul Kristus, dan Kapel Kristus yang
terdapat patung Kristus disalib.
Bangunan Joglo berbentuk panggung juga dapat kita
temukan di sini. Bangunan ini bisa kita gunakan untuk beristirahat atau tempat
merenung dan berdoa kepada Tuhan. Ada unsur arsitektur Cina pada bangunan di
Sendangsono. Selain corak warna merah yang dominan, beberapa ukiran dan bentuk
tangganya menyerupai bangunan China namun memiliki corak Jawa. Inilah perpaduan
beberapa unsur yang merupakan kelebihan dari Romo Mangun dalam merancang
arsitektur Sendangsono, termasuk unsur Sumatra, Eropa, dan corak lainnya.
Kompleks Sendangsono terdiri atas beberapa
bagian; ada kompleks makam, Guaa Maria, kapel-kapel, sumber mata air, dan
bangunan joglo yang dapat digunakan untuk beristirahat. Kita dapat mengunjungi makam Barnabas
Sarikromo, yang merupakan sosok penting dalam pewartaan Gereja Katolik di tanah
Jawa. Beliau adalah katekumen yang dibaptis pertama kali di
Sendangsono dan mewartakan Injil ke berbagai daerah sekitar meskipun memiliki
kekurangan fisik.
Di sepanjang jalan menuju Gua Maria, kita dapat
menemukan fragmen-fragmen yang menceritakan perjalanan Yesus Kristus dalam
mewartakan kabar gembira. Di setiap fragmen terdapat tatakan lilin di mana umat
dapat menyalakan lilin yang menambah suasana damai di tempat itu.
Air dari sendang tempat pembabtisan pertama
tersebut juga dapat kita nikmati. Air itu dialirkan melalui kran-kran yang
dapat kita gunakan untuk mencuci muka, meminum, bahkan membawa pulang air ini
dengan menyimpannya ke dalam botol.
Sendangsono merupakan tempat yang sangat tenang,
sejuk, dan hening, sehingga sangat layak bagi pengunjung untuk merenung dan
mendekatkan diri kepada Tuhan. Pengunjung tidak ditarik tiket retribusi apa pun
karena Gereja Promasan yang bertanggung jawab atas pengelolaan tempat ini
memang tidak mengizinkan adanya penarikan biaya, termasuk untuk toilet, namun
pengunjung hanya ditarik karcis parkir yang pengelolaannya dipegang oleh
pemerintah daerah.
Dari
Rosario sampai Sengsu
Selain melakukan ritual ibadah, pengunjung juga
dapat sekadar menikmati pemandangan alamnya yang memang asri dan indah.
Gemericik air yang mengalir melalui sungai yang membelah kompleks
Sendangsono menambah suasana doa yang
mampu menyentuh lubuk hati kita yang paling dalam.
Terdapat banyak kios pedagang di sekitar
lingkungan Sendangsono yang menjajakan suvenir rohani, semacam salib, kaos,
lukisan, maupun peralatan untuk beribadah semacam lilin, bunga, dan untaian
rosario. Selain itu banyak penjual makanan di sekitar sendang. Makanan yang
paling khas di tempat ini adalah Rica-rica anjing atau yang sering disebut sengsu (oseng-oseng asu).
Para pengunjung tidak hanya orang yang beragama
Katolik. Banyak yang datang ke tempat ini untuk menikmati kesunyian yang sangat
jarang didapatkan di tengah kota. Selain itu, suasana Sendangsono sangat
mendukung untuk refleksi diri, menyadari segala sesuatu yang terjadi pada diri
kita. Mudahnya, kita dapat menemukan Tuhan dalam kesunyian Sendangsono.
Sulit bagi kita untuk menemukan tempat yang
begitu nyaman untuk menenangkan diri, Sendangsono salah satunya. Semilir angin
berhembus ditambah suara gemericik air menyambut aura hangat yang memancar dari
setiap sudut Sendangsono. Di tempat inilah kita dapat menemukan diri kita
seutuhnya di hadapan Sang Pencipta.
Ad Maiorem
Dei Gloriam
0 comments:
Post a Comment