SEBUAH TANYA
Akhirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
Kabut tipis pun turun pelan-pelan
Di lembah kasih, lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap kau
Dekaplah lebih mesra, lebih dekat
Lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara
Tanpa kata, tanpa suara
Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta
Hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi suram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Seperti kabut pagi itu
Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenang-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru
Jakarta, Selasa, 1 April 1969
Puisi “Sebuah
Tanya” karangan Soe Hok Gie merupakan sebuah karya sastra. Sastra berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu tulisan atau karangan, namun banyak orang pada zaman dahulu
menyebut dengan kesusastraaan. Secara etimologi “su” berarti baik atau indah
dan “sastra” berarti tulisan atau karangan sehingga arti dari kesusastraan adalah
segala tulisan atau karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan dan ditulis
dengan bahasa yang indah.
Penulis (Soe Hok Gie) adalah sosok
idealis yang lahir pada 17 Desember 1942. Ayahnya Soe Lie Piet adalah seorang
penulis, baik karangan fiksi maupun non-fiksi. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie
sering berkunjung ke perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di Jakarta. ketika
masih Sekolah Dasar, Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang
berbobot, seperti karya Pramoedya Ananta Toer.
Latar belakang Ayahnya yang merupakan
seorang penulis adalah salah satu faktor mengapa Soe Hok Gie sangat dekat
dengan sastra. Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke SMA Kanisius jurusan
sastra. Di sinilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, sekaligus dia
mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai tumbuh.
Soe Hok Gie semakin mendalami ilmu
sastranya dengan melanjutkan pendidikan di fakultas sastra jurusan sejarah
Universitas Indonesia (UI). Di masa kuliahnya, Gie menjadi aktivis
kemahasiswaan. Gie memiliki pengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno yang
saat itu keadaan kondisi pemerintahan
sangat labil. Ia juga yang termasuk orang pertama yang mengritik tajam rezim
Orde Baru.
Selain itu Gie ikut mendirikan Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam UI). Dalam kegiatan inilah Gie dapat mengekspresikan kecintaannya pada alam. Lembah Mandalawangi di gunung Pangrango merupakan tempat favorit baginya untuk melepas segala penat yang dirasakan. Ikatan yang kuat antara Gie dengan alam pula yang menghantarnya pada keabadian ketika pada tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, Gie meninggal akibat menghirup asap beracun di gunung Semeru, tanah tertinggi di pulau Jawa.
Soe Hok Gie sangat senang menulis, baik
itu tulisan tajam dalam mengkritik pemerintah maupun karya sastra seperti
puisi. Puisi-puisinya sangat menggambarkan realitas zaman itu yang penuh dengan
permainan politik. Gie merefleksikan segala bentuk dinamika kehidupan dalam
puisinya. Terdapat sisi refleksi dalam puisi-puisi Gie yang dapat menggugah
hati setiap pembacanya.
Di sisi lain, sebagai manusia biasa, Gie
juga dihadapkan pada situasi yang dinamakan cinta akan beda jenis. Di sinilah
puisi “Sebuah Tanya” menggambarkan apa yang telah dialami oleh Gie, khususnya
tentang sikap dan perasaannya terhadap perempuan. Inilah bagian yang menarik,
satu puisi cinta di tengah berbagai puisi tentang nasionalisme.
Kehidupan cinta Gie tidaklah berjalan
dengan mulus. Sikap Gie cenderung menilai bahwa cinta yang berujung pada
perkawinan itu tidaklah suci. Baginya tidak ada cinta sejati karena yang ada
hanyalah nafsu. Namun di luar pandangannya itu, seorang Soe Hok Gie pun dapat
terombang-ambing oleh cinta itu sendiri.
Kisah percintaan Gie dapat dikatakan
tragis juga. Ketika dia mengejar apa yang disebut cinta, semuanya menolak.
Dalam buku hariannya setidaknya ada tiga perempuan (salah satunya adalah Maria)
yang disebut-sebut memiliki hubungan khusus dengannya, namun semua berujung
pada penolakan, bukan dari pihak perempuannya sendiri maupun dari pihak
keluarga perempuan tersebut.
Kita dapat memahaminya dalam puisi
“Sebuah Tanya”. Bagi Gie, kisah percintaanya dengan perempuan dapat
disandingkan dengan kecintaannya pada alam, khususnya pada lembah Mandalawangi
yang nantinya akan menjadi tempat bagi peristirahatan Gie yang terakhir di mana
abu kremasinya ditaburkan di tempat itu.
Soe Hok Gie menganalogikan kisahnya
dengan nasib para prajurit. Mereka dipuja-puja, dianggap sebagai pahlawan
sebagai tentara pembebas. Namun, jika ada anak perempuan ingin dinikahi,
semuanya akan berkata, “nanti dulu”.
Sekali waktu Gie pernah berkata, “Saya
juga mulai menyadari reaksi ibu (dari) Maria. Orang-orang Tionghoa ini senang
pada saya karena saya berani, jujur, dan berkepribadian. But no more than that. Pada saat mereka sadar bahwa saya ingin
menjadi in-group mereka, mereka
menolak; Soe baik tetapi tidak untuk keluarga kita.”
Saya tertarik dengan bagian puisi :
“Manisku, aku akan jalan terus. Membawa kenang-kenangan dan harapan-harapan,
bersama hidup yang begitu biru.”. Dalam bagian ini kita dapat melihat ketegaran
Soe Hok Gie dalam menjalani kisah cintanya. Hampir tidak ada tanda-tanda bagaimana
ia hilang semangat. Pupusnya kisah cinta tidak membuatnya terjebak pada
penolakan itu sendiri. Life must go on.
Perjuangan Soe Hok Gie ternyata tidak
sebatas pada dunia politik saja. Perjuangan politik bisa saja menyita banyak
waktu dari sedikit waktu hidupnya, namun perjuangan dalam cinta seorang Soe Hok
Gie ternyata lebih dalam dan penuh dengan lika-liku yang tidak mudah untuk
diatasi. Ketegaran Gie patut diapresiasi. Puisi “Sebuah Tanya” adalah jawaban
dari sejuta pertanyaan tentang kisah cintanya.
Dari puisi Soe Hok Gie ini saya merasa
mendapat inspirasi untuk menulis puisi yang serupa namun tak sama. Puisi “Sebuah Mimpi” adalah
sebuah ungkapan hati seseorang yang hanya akan menjadi sebuah mimpi bagi orang
yang dicintainya. Cinta dibenturkan dengan realitas yang menghalanginya untuk
menjadi apa yang disebut dengan kesatuan.
Mimpi adalah sesuatu yang dekat namun
tak terjangkau. Kehidupan real yang bertolak belakang 180° dengan mimpi itu
mengharuskannya untuk menerima apa yang sulit untuk diterima. Keterbatasan
manusia adalah suatu yang tak bisa dihindari, termasuk dalam hal cinta.
Sebuah mimpi akan terus menjadi mimpi.
Jika ingin mimpi menjadi kenyataan dibutuhkan daya dobrak yang luar biasa,
namun sekali lagi hal itu akan berbenturan dengan realitas yang jauh dari
harapan. Dalam puisi ini mau digambarkan bahwa manusia memiliki keterbatasan
meskipun hati telah memilih apa yang disebut dengan cinta itu sendiri.
Ad Maiorem Dei
Gloriam
*Dari berbagai sumber
0 comments:
Post a Comment