Tuesday, February 21, 2012

Quo Vadis Indonesia

Quo Vadis Indonesia (?)
Dilihat dari sudut pandang kepemimpinan Soekarno, Soeharto dan SBY

Enam puluh enam tahun sudah Indonesia merdeka. Selama itu arah dan tujuan bangsa ini masih samar-samar. Terdapat enam presiden yang secara bergantian memimpin Indonesia menuju era globalisasi. Dari enam presiden tersebut, kita mengenal sosok Soekarno, Soeharto, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dari era kepemimpinan mereka, muncul pertanyaan siapakah presiden yang paling ideal memimpin Indonesia sebagai bangsa multikultural? Jawaban pertanyaan tersebut memang sangatlah subjektif tergantung siapa yang menjawabnya, namun mari kita urai sepak terjang masing-masing pribadi sehingga kita dapat menilai secara lebih objektif berdasarkan data dan fakta yang ada.
Soekarno adalah orang yang berjasa bagi Indonesia setelah bersama beberapa tokoh memproklamasikan kemerdekaan bangsa ini pada tanggal 17 Agustus 1945. Pria kelahiran 6 Juni 1901 ini memiliki sepak terjang di dunia politik ketika ia masih berumur 17 tahun. Kiprahnya membawa Indonesia merdeka berlanjut dengan terpilihnya menjadi presiden Republik Indonesia yang pertama.
Ketika menjabat sebagai presiden RI, Soekarno dikenal sebagai pribadi yang tegas dan tanpa kompromi. Soekarno merupakan nasionalis sejati.  Paham NASAKOM (Nasionalis – Agama – Komunis) merupakan bukti bahwa ia membuka setiap ideologi tumbuh di Indonesia asalkan tidak berada di luar garis Pancasila sebagai ideologi utama bangsa Indonesia. BERDIKARI (Berdiri di atas kaki sendiri) menjadi slogan yang selalu dikumandangkan. Ia menolak dengan keras segala bentuk imperialisme neo-kolonialisme yang pada waktu itu menjadi musuh utama bagi Soekarno.
Kemampuannya dalam berpidato menjadikannya salah satu orator terbaik di dunia. Di bawah pemerintahannya, Indonesia merupakan salah satu Negara yang ditakuti oleh bangsa internasional. Kekuatan Soekarno sebagai presiden terlihat dari wibawanya yang sungguh seorang revolusioner sejati. 

Masa akhir Soekarno sebagai seorang presiden dapat dikatakan tragis karena peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965. Situasi yang tidak menentu membuka peluang bagi Soeharto untuk melengserkan Soekarno dari kursi presiden RI.

Pada Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden dan Soeharto diangkat sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia. Peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto masih diliputi kabut tebal. Namun setelah era Orde Baru runtuh, banyak ahli membuka tabir yang terjadi pada periode peralihan kekuasaan tersebut.

Proses Soeharto merebut kekuasaan dari tangan Soekarno dimulai sejak peristiwa G30S dan berlanjut ketika ia membuat panik sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966 di Istana Merdeka. Pada waktu itu Soeharto sendiri tidak menghadiri Sidang. Ia menggerakkan mahasiswa yang dikawal oleh Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) tanpa tanda pengenal untuk mengganggu jalannya sidang. Setelah sidang kacau, Soekarno meninggalkan Istana Merdeka menuju ke Istana Bogor. Soeharto memerintahkan tiga Jenderal yaitu Jenderal Andi Yusuf, Jenderal Basuk Rachmad, dan Jenderal Amir Mahmud untuk menghadap Soekarno dengan tujuan agar Soekarno memberi surat perintah pengamanan.

Karena situasi sedang kacau, Soekarno memberi surat perintah pengamanan yang kita kenal sebagai “supersemar” (Surat perintah sebelas maret). Dengan surat pengamanan tersebut, Soeharto memberantas PKI yang merupakan pro Soekarno. Soeharto menafsirkan supersemar sebagai Pelimpahan Kekuasaan. 

Dengan menghabisi seluruh elemen PKI, Soeharto dengan leluasa merombak segala unsur-unsur pro Soekarno. Ia merombak DPR-GR/MPRS saat itu dan mengisinya dengan orang-orang yang pro dengannya, seperti Nasution yang dijadikan sebagai ketua MPRS dan nantinya akan mengesahkannya menjadi presiden Republik Indonesia. 

Pada tanggal 7 Maret 1967 sampai 12 Maret 1967 diadakan Sidang Istimewa. MPRS Soeharto-Nasution mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 tentang pencabutan kekuasaan dari tangan Soekarno dan Ketetapan MPRS No. XXXVI/1967 tentang melarang ajaran Soekarno. MPRS bentukan Soeharto itu pula yang mengangkatnya sebagai pejabat presiden Republik Indonesia menggantikan Soekarno. Dengan lahirnya kedua Tap MPRS tersebut, dimulailah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto dan dimulailah era imperialisme yang masuk ke Indonesia melalui Soeharto. 

Rezim Orde Lama telah diganti dengan Rezim Orde Baru yang merupakan rezim otoriter dengan Soeharto sebagai diktator di dalamnya. Dwifungsi ABRI menjadi senjata bagi Soeharto dalam berkuasa. Ia dipilih kembali menjadi presiden RI oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden.

Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Ia membuka pintu bagi modal asing masuk ke Indonesia. Memang di satu sisi Indonesia mengalami kemajuan di bidang ekonomi namun di sisi lain Indonesia terjebak dalam imperialisme (neo-kolonialisme). Hutang Negara semakin menumpuk dan pihak asing dengan leluasa menguras sumber daya yang ada di Indonesia. 

Selama kurang lebih 31 tahun menjabat sebagai presiden Soeharto banyak melakukan kebijakan krusial, terlebih dalam bidang ekonomi dan politik. Soeharto dengan leluasa melanggengkan kursi pemerintahannya dengan menimimalkan jumlah partai hanya menjadi tiga (Golkar, PDI, dan PKB). Dengan tindakannya itu, Soeharto dapat memanipulasi hasil pemilu. Kunci kekuatan Soeharto terletak pada kekuatan militer yang dia miliki. Semua orang yang menentang Soeharto harus dihadapkan pada tangan besinya, dengan kata lain adalah dipenjara atau dibunuh. 

Rezim Orde Baru akhirnya runtuh ketika pada pertengahan tahun 1998, mahasiswa mewakili seluruh rakyat Indonesia melakukan demonstrasi besar-besaran yang sering dikenal dengan peristiwa Mei 1998. Peristiwa itu merupakan awal dimulainya era reformasi yang mengutamakan sistem demokrasi rakyat dalam pemerintahan. 

Setelah Soeharto tumbang, ia digantikan oleh B.J. Habibie. Nampaknya rakyat kurang puas karena Habibie dicap sebagai pengikut Soeharto. Tidak lama setelah itu, kursi presiden RI jatuh ditangan K.H. Abdurrahman Wahid, kemudian Megawati Soekarnoputri, dan sekarang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Nama SBY mencuat ketika pada pemilu tahun 2004, ia berhasil menguasai suara rakyat dengan didukung oleh Partai Demokrat. SBY menekankan sikap demokrasi dalam era kepemimpinannya. Demokrasi dipandang sesuai dengan latar belakang Indonesia yang memiliki keberagaman di dalamnya.

Banyak kebijakan yang dibuat oleh SBY dalam dinamika memimpin Indonesia. Namun, kebijakan-kebijakan tersebut justru seringkali memicu kontroversi yang paradoksal. Kebijakan itu dinilai hanya menguntungkan beberapa kelompok saja tanpa memandang elemen dasar bangsa ini, yaitu rakyat. 

Dalam memerintah Indonesia, SBY seringkali dikritik karena lamban menangani kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Korupsi menjadi tidak tabu lagi di kalangan penjabat pemerintahan. Janji-janji di masa kampanye menjelang pemilu seperti omong kosong belaka. Reshuffle kabinet yang seringkali dilakukan SBY dinilai sebagai jalan instan dalam menyelesaikan permasalahan. 

Dalam bidang ekonomi, SBY memang dapat dikatakan cukup baik karena pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun dalam bidang lainnya, SBY dianggap tidak tegas, seperti pada kasus sengketa dengan Malaysia yang berujung pada lepasnya pulau Ligitan dan Sipadan ke tangan Negeri Jiran itu. Kasus Papua yang terus memanas juga merupakan bukti ketidaktegasan SBY sebagai presiden RI. 

Dari kepemimpinan era Soekarno, Soeharto, dan SBY kita dapat melihat dinamika politik Indonesia yang beragam. Satu ideologi namun berbeda dalam praksisnya. Tiap pemimpin memiliki ciri khasnya masing-masing. Kita sangat berharap bahwa di masa mendatang Indonesia memiliki presiden yang sungguh-sungguh memiliki karakter sebagai pemimpin sejati. Kita dapat mencari gambaran ideal dengan menggabungkan kelebihan dari ketiga sosok yang telah diuraikan sebelumnya; Soekarno dengan wibawanya sebagai orator ulung, Soeharto dengan keberanianya, dan SBY dengan sikap demokrasinya. 

Semoga Indonesia sungguh memiliki presiden yang ideal untuk membawa negeri ini ke arah yang lebih baik. Rakyat Indonesia berharap akan ada pribadi tersebut dalam generasi muda saat ini. Sikap nasionalisme harus ditanamkan sejak dini agar para pemuda memiliki rasa cinta tanah air yang kelak akan membawa paradigma yang kuat akan sosok pemimpin bangsa ini. Soekarno, Soeharto dan SBY telah berusaha membawa bangsa ini ─ terlepas dari aspek kepentingan di dalamnya ─  untuk menjadi bangsa yang maju di segala bidang. Sekarang saatnya bagi generasi muda untuk menentukan bangsa ini menuju kesejahteraan seperti yang diharapkan para founding father ketika membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Merdeka !

0 comments: