Dilihat dari sudut pandang kepemimpinan Soekarno,
Soeharto dan SBY
Enam puluh enam tahun sudah Indonesia merdeka. Selama itu arah dan
tujuan bangsa ini masih samar-samar. Terdapat enam presiden yang secara
bergantian memimpin Indonesia menuju era globalisasi. Dari enam presiden
tersebut, kita mengenal sosok Soekarno, Soeharto, dan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Dari era kepemimpinan mereka, muncul pertanyaan siapakah presiden yang
paling ideal memimpin Indonesia sebagai bangsa multikultural? Jawaban
pertanyaan tersebut memang sangatlah subjektif tergantung siapa yang
menjawabnya, namun mari kita urai sepak terjang masing-masing pribadi sehingga
kita dapat menilai secara lebih objektif berdasarkan data dan fakta yang ada.
Soekarno adalah orang yang berjasa bagi Indonesia setelah bersama
beberapa tokoh memproklamasikan kemerdekaan bangsa ini pada tanggal 17 Agustus
1945. Pria kelahiran 6 Juni 1901 ini memiliki sepak terjang di dunia politik
ketika ia masih berumur 17 tahun. Kiprahnya membawa Indonesia merdeka berlanjut
dengan terpilihnya menjadi presiden Republik Indonesia yang pertama.
Ketika menjabat sebagai presiden RI, Soekarno dikenal sebagai pribadi
yang tegas dan tanpa kompromi. Soekarno merupakan nasionalis sejati. Paham NASAKOM (Nasionalis – Agama – Komunis)
merupakan bukti bahwa ia membuka setiap ideologi tumbuh di Indonesia asalkan
tidak berada di luar garis Pancasila sebagai ideologi utama bangsa Indonesia.
BERDIKARI (Berdiri di atas kaki sendiri) menjadi slogan yang selalu
dikumandangkan. Ia menolak dengan keras segala bentuk imperialisme neo-kolonialisme
yang pada waktu itu menjadi musuh utama bagi Soekarno.
Kemampuannya
dalam berpidato menjadikannya salah satu orator terbaik di dunia. Di bawah
pemerintahannya, Indonesia merupakan salah satu Negara yang ditakuti oleh
bangsa internasional. Kekuatan Soekarno sebagai presiden terlihat dari
wibawanya yang sungguh seorang revolusioner sejati.
Masa
akhir Soekarno sebagai seorang presiden dapat dikatakan tragis karena peristiwa
Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965. Situasi yang tidak menentu membuka
peluang bagi Soeharto untuk melengserkan Soekarno dari kursi presiden RI.
Pada
Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari
jabatannya sebagai presiden dan Soeharto diangkat sebagai pejabat Presiden
Republik Indonesia. Peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto masih
diliputi kabut tebal. Namun setelah era Orde Baru runtuh, banyak ahli membuka
tabir yang terjadi pada periode peralihan kekuasaan tersebut.
Proses
Soeharto merebut kekuasaan dari tangan Soekarno dimulai sejak peristiwa G30S
dan berlanjut ketika ia membuat panik sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966 di
Istana Merdeka. Pada waktu itu Soeharto sendiri tidak menghadiri Sidang. Ia
menggerakkan mahasiswa yang dikawal oleh Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat
(RPKAD) tanpa tanda pengenal untuk mengganggu jalannya sidang. Setelah sidang
kacau, Soekarno meninggalkan Istana Merdeka menuju ke Istana Bogor. Soeharto
memerintahkan tiga Jenderal yaitu Jenderal Andi Yusuf, Jenderal Basuk Rachmad,
dan Jenderal Amir Mahmud untuk menghadap Soekarno dengan tujuan agar Soekarno
memberi surat perintah pengamanan.
Karena
situasi sedang kacau, Soekarno memberi surat perintah pengamanan yang kita
kenal sebagai “supersemar” (Surat perintah sebelas maret). Dengan surat
pengamanan tersebut, Soeharto memberantas PKI yang merupakan pro Soekarno.
Soeharto menafsirkan supersemar sebagai Pelimpahan Kekuasaan.
Dengan
menghabisi seluruh elemen PKI, Soeharto dengan leluasa merombak segala
unsur-unsur pro Soekarno. Ia merombak DPR-GR/MPRS saat itu dan mengisinya
dengan orang-orang yang pro dengannya, seperti Nasution yang dijadikan sebagai
ketua MPRS dan nantinya akan mengesahkannya menjadi presiden Republik
Indonesia.
Pada
tanggal 7 Maret 1967 sampai 12 Maret 1967 diadakan Sidang Istimewa. MPRS
Soeharto-Nasution mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 tentang pencabutan
kekuasaan dari tangan Soekarno dan Ketetapan MPRS No. XXXVI/1967 tentang
melarang ajaran Soekarno. MPRS bentukan Soeharto itu pula yang mengangkatnya
sebagai pejabat presiden Republik Indonesia menggantikan Soekarno. Dengan
lahirnya kedua Tap MPRS tersebut, dimulailah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh
Soeharto dan dimulailah era imperialisme yang masuk ke Indonesia melalui
Soeharto.
Rezim
Orde Lama telah diganti dengan Rezim Orde Baru yang merupakan rezim otoriter
dengan Soeharto sebagai diktator di dalamnya. Dwifungsi ABRI menjadi senjata
bagi Soeharto dalam berkuasa. Ia dipilih kembali menjadi presiden RI oleh MPR pada
tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam
jabatannya sebagai presiden.
Pada masa pemerintahannya,
Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan
pemerintah. Ia membuka pintu bagi modal asing masuk ke Indonesia. Memang di
satu sisi Indonesia mengalami kemajuan di bidang ekonomi namun di sisi lain
Indonesia terjebak dalam imperialisme (neo-kolonialisme). Hutang Negara semakin
menumpuk dan pihak asing dengan leluasa menguras sumber daya yang ada di
Indonesia.
Selama kurang lebih 31 tahun menjabat sebagai presiden Soeharto banyak
melakukan kebijakan krusial, terlebih dalam bidang ekonomi dan politik.
Soeharto dengan leluasa melanggengkan kursi pemerintahannya dengan menimimalkan
jumlah partai hanya menjadi tiga (Golkar, PDI, dan PKB). Dengan tindakannya
itu, Soeharto dapat memanipulasi hasil pemilu. Kunci kekuatan Soeharto terletak
pada kekuatan militer yang dia miliki. Semua orang yang menentang Soeharto
harus dihadapkan pada tangan besinya, dengan kata lain adalah dipenjara atau
dibunuh.
Rezim Orde Baru akhirnya runtuh ketika pada pertengahan tahun 1998,
mahasiswa mewakili seluruh rakyat Indonesia melakukan demonstrasi besar-besaran
yang sering dikenal dengan peristiwa Mei 1998. Peristiwa itu merupakan awal
dimulainya era reformasi yang mengutamakan sistem demokrasi rakyat dalam pemerintahan.
Setelah Soeharto tumbang, ia digantikan oleh B.J. Habibie. Nampaknya
rakyat kurang puas karena Habibie dicap sebagai pengikut Soeharto. Tidak lama
setelah itu, kursi presiden RI jatuh ditangan K.H. Abdurrahman Wahid, kemudian
Megawati Soekarnoputri, dan sekarang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Nama SBY mencuat ketika pada pemilu tahun 2004, ia berhasil menguasai
suara rakyat dengan didukung oleh Partai Demokrat. SBY menekankan sikap
demokrasi dalam era kepemimpinannya. Demokrasi dipandang sesuai dengan latar
belakang Indonesia yang memiliki keberagaman di dalamnya.
Banyak kebijakan yang dibuat oleh SBY dalam dinamika memimpin Indonesia.
Namun, kebijakan-kebijakan tersebut justru seringkali memicu kontroversi yang
paradoksal. Kebijakan itu dinilai hanya menguntungkan beberapa kelompok saja
tanpa memandang elemen dasar bangsa ini, yaitu rakyat.
Dalam memerintah Indonesia, SBY seringkali dikritik karena lamban
menangani kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Korupsi menjadi tidak tabu
lagi di kalangan penjabat pemerintahan. Janji-janji di masa kampanye menjelang
pemilu seperti omong kosong belaka. Reshuffle kabinet yang seringkali dilakukan
SBY dinilai sebagai jalan instan dalam menyelesaikan permasalahan.
Dalam bidang ekonomi, SBY memang dapat dikatakan cukup baik karena
pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun dalam
bidang lainnya, SBY dianggap tidak tegas, seperti pada kasus sengketa dengan
Malaysia yang berujung pada lepasnya pulau Ligitan dan Sipadan ke tangan Negeri
Jiran itu. Kasus Papua yang terus memanas juga merupakan bukti ketidaktegasan
SBY sebagai presiden RI.
Dari kepemimpinan era Soekarno, Soeharto, dan SBY kita dapat melihat
dinamika politik Indonesia yang beragam. Satu ideologi namun berbeda dalam
praksisnya. Tiap pemimpin memiliki ciri khasnya masing-masing. Kita sangat
berharap bahwa di masa mendatang Indonesia memiliki presiden yang
sungguh-sungguh memiliki karakter sebagai pemimpin sejati. Kita dapat mencari
gambaran ideal dengan menggabungkan kelebihan dari ketiga sosok yang telah
diuraikan sebelumnya; Soekarno dengan wibawanya sebagai orator ulung, Soeharto
dengan keberanianya, dan SBY dengan sikap demokrasinya.
Semoga Indonesia sungguh memiliki presiden yang ideal untuk membawa
negeri ini ke arah yang lebih baik. Rakyat Indonesia berharap akan ada pribadi
tersebut dalam generasi muda saat ini. Sikap nasionalisme harus ditanamkan
sejak dini agar para pemuda memiliki rasa cinta tanah air yang kelak akan
membawa paradigma yang kuat akan sosok pemimpin bangsa ini. Soekarno, Soeharto
dan SBY telah berusaha membawa bangsa ini ─ terlepas dari aspek kepentingan di
dalamnya ─ untuk menjadi bangsa yang
maju di segala bidang. Sekarang saatnya bagi generasi muda untuk menentukan
bangsa ini menuju kesejahteraan seperti yang diharapkan para founding father ketika membentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Merdeka !
0 comments:
Post a Comment