Judul buku : Gereja dan Penegakan HAM
Penyunting : Ruddy Tindage dan Rainy MP Hutabarat
Tebal Buku : 251 Halaman
Penerbit : ©2008 Kanisius
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah milik manusia sejak ia tampil sebagai manusia, sejak dalam rahim ibunya, terlebih sejak saat kelahirannya. HAM adalah sebagian dari hakikat manusia, jadi merupakan hak-hak alami, tidak bisa tidak dimiliki oleh manusia. Karena tidak ada yang memberikannya, maka juga tidak ada yang berhak mencabutnya. Itulah point yang selalu ditekankan dalam buku ini, di mana HAM diletakkan kedudukannya sebagai yang utama, sebagai dasar dari segala hak, sebagai anugerah yang pasti diterima oleh setiap manusia.
Yang
menjadi keprihatinan adalah realita atau kenyataan yang terjadi di
dalam masyarakat di mana HAM tidak mendapat perhatian untuk
diperjuangkan. Banyak sekali terjadi tidakan penganiayaan atau
semacamnya yang terjadi di berbagai belahan dunia, padahal selaku badan
Internasional, PBB telah mengaklamasikan Deklarasi Universal tentang HAM
pada tanggal 10 Desember 1948 pasca Perang Dunia II. Sebagai bagian
dari PBB, sudah sepatutnya bangsa Indonesia turut memperjuangkan HAM
dalam kegiatan apapun, termasuk dalam membuat kebijakan yang menyangkut
masyarakat secara luas. Pada tanggal 10 Mei 2006, Indonesia terpilih
menjadi anggota Dewan HAM PBB. Namun, apakah bangsa Indonesia yang
memang pantas mendapat gelar itu? Rasa-rasanya belum. Masih banyak kasus
yang terjadi di bangsa ini dan semuanya menyangkut dengan ketidakadilan
terhadap kaum kecil, baik yang terjadi di masa lalu maupun yang sampai
detik ini pun masih terjadi. Di negeri yang tengah carut-marut ini masih
banyak sekali kasus pelanggaran HAM yang bukan saja belum terungkap dan
ditangani secara hukum dan adil, tetapi juga belum ditulis dan
dipublikasikan. Tulisan-tulisan mengenai HAM dalam buku ini mau mengajak
masyarakat agar dapat mengetahui dan belajar dari kasus-kasus tersebut
dan menjadi penghormatan atas HAM sebagai praksis hidup.
Indonesia, khususnya di era Orde Baru merupakan salah satu Negara di
dunia yang termasuk dalam kategori pelanggar HAM berperingkat tinggi.
Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya proses pelanggaran
HAM di Indonesia, antara lain adanya defisit demokrasi dan perwakilan
yang semu. Artinya kebebasan tidak hanya diukur melalui kebebasan sipil
yang sudah diperjuangkan di negeri ini, namun juga diukur dari bagaimana
supremasi hukum dapat dirasakan masyarakat. Keadilan seakan bisa
“dibeli” oleh kekuasaan. Para pejabat terpilih pun ternyata tidak
mewakili dan memperjuangkan kepentingan mayoritas masyarakat yang miskin
dan berkekurangan.
Dari keprihatinan tersebut, terdapat kelompok-kelompok yang
memperjuangkan adanya keadilan di bangsa ini. Mereka tak henti-hentinya
menyerukan penegakan HAM. Pada dasarnya indikator utama Hak Asasi
Manusia adalah diputuskannya lingkaran Impunitas, yakni warisan dari
periode rezim otoritarian, di mana pelanggar hak asasi manusia tidak
dapat dibawa ke pengadilan, karena kekuasaan mereka yang menghalangi
hukum ditegakkan. Dengan diputuskannya lingkaran impunitas tersebut
diharapkan keadilan di Indonesia tidak sebatas pada teori, namun lebih
kepada praktek di lapangan.
Sejauh mana Gereja Indonesia menyikapi masalah ini?
Pada awalnya Gereja memang antipati dalam urusan HAM karena memang HAM
identik dengan urusan politik. Namun itu terjadi pada ratusan tahun
silam di mana Gereja masih menjadi sebuah “panggung kekuasaan” yang
sulit ditembus karena memang pada masa lalu Gereja sangat dekat dengan
para penguasa yang notabene adalah para pelaku tindak kekerasan HAM.
Gereja tidak ingin ikut campur dengan masalah HAM. Baru sesudah konsili
vatikan II, Gereja bukan lagi menjadi “penguasa” tapi lebih sebagai
sebuah “paguyuban” yang sangat terbuka dengan adanya kasus pelanggaran
HAM.
Sehubungan dengan wawasan HAM, panggilan gereja bukanlah semata-mata agar menjadi ecclesia docens (gereja yang mengajar), tetapi juga sebagai ecclesia discerns (gereja yang belajar). Dalam perumpamaan orang Samaria yang baik hati, Yesus menerobos keluar (out of the box) dari
ketegangan di antara partikularisme dan universalisme di dalam yang
terdapat dalam agama-agama dan menekankan pada universalitas berupa
kesetaraan manusia. Dalam perumpamaan itu digambarkan HAM tidak hanya
diperjuangkan dari bangsa, ras, dan suku yang sama. Seorang Samaria yang
dikatakan sebagai musuh orang Yahudi pun mau untuk mengulurkan
tangannya demi orang Yahudi yang menderita. Tindakan orang Samaria ini
menggerakkan kita untuk memandang HAM sebagai sesuatu yang universal,
yang mengatakan bahwa HAM tidak hanya milik golongan tertentu.
Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri, adalah panggilan untuk
menghargai martabat sesama manusia. Seperti yang dikatakan oleh Yesus,
yang sering disebut sebagai Golden rule, “Dan sebagaimana kamu
kehendaki supaya orang perbuat padamu, perbuatlah demikian kepada
mereka,” (Luk 6:31). Ajakan Yesus ini adalah ajakan untuk menegakkan Hak
Asasi Manusia itu sendiri. Alkitab melihat fungsi hukum itu, bukan
sebagai pembatas, tetapi yang member kebebasan kepada manusia untuk
menegakkan hak asasinya. Tidak ada penghargaan yang lebih besar untuk
sesama, selain daripada kasih.
Melihat kenyataan yang seperti ini, memang tak dapat dipungkiri bahwa
Gereja harus berbuat sesuatu. Penegakan HAM adalah sesuatu yang penting.
Tugas memperjuangkan hak-hak tersebut merupakan sebuah panggilan.
Janganlah kita menutup mata akan kasus-kasus penyelewengan HAM dalam
negeri ini. Kasus-kasus
tersebut tidak boleh didiamkan karena negara kita maunya menjadi negara
beradab dan negara beradab tidak melakukan yang dilakukan negara kita
kepada korban-korban ketidakadilan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan
proses penegakan HAM adalah sesuatu yang baik. Dengan adanya proses
itu, kita ingin menghadirkan Kristus yang hadir menyertai umat-Nya.
Pertanyaan yang muncul adalah, sejauh mana aku menjadi Alter Christus
yang hadir untuk memperjuangkan keadilan, menjadi perpanjangan tangan
kasih Tuhan untuk mewartakan kasih kepada mereka yang kecil, lemah,
miskin, dan tersingkir itu?
We
hold that these truths be self evident, that all men are created equal,
that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights
(John Locke)
0 comments:
Post a Comment