Tuesday, February 21, 2012

HAM, Masih Adakah (?)

Judul buku       : Gereja dan Penegakan HAM
Penyunting       : Ruddy Tindage dan Rainy MP Hutabarat
Tebal Buku      : 251 Halaman
Penerbit           : ©2008 Kanisius


Hak Asasi Manusia (HAM) adalah milik manusia sejak ia tampil sebagai manusia, sejak dalam rahim ibunya, terlebih sejak saat kelahirannya. HAM adalah sebagian dari hakikat manusia, jadi merupakan hak-hak alami, tidak bisa tidak dimiliki oleh manusia. Karena tidak ada yang memberikannya, maka juga tidak ada yang berhak mencabutnya. Itulah point yang selalu ditekankan dalam buku ini, di mana HAM diletakkan kedudukannya sebagai yang utama, sebagai dasar dari segala hak, sebagai anugerah yang pasti diterima oleh setiap manusia.
Yang menjadi keprihatinan adalah realita atau kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat di mana HAM tidak mendapat perhatian untuk diperjuangkan. Banyak sekali terjadi tidakan penganiayaan atau semacamnya yang terjadi di berbagai belahan dunia, padahal selaku badan Internasional, PBB telah mengaklamasikan Deklarasi Universal tentang HAM pada tanggal 10 Desember 1948 pasca Perang Dunia II. Sebagai bagian dari PBB, sudah sepatutnya bangsa Indonesia turut memperjuangkan HAM dalam kegiatan apapun, termasuk dalam membuat kebijakan yang menyangkut masyarakat secara luas. Pada tanggal 10 Mei 2006, Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB. Namun, apakah bangsa Indonesia yang memang pantas mendapat gelar itu? Rasa-rasanya belum. Masih banyak kasus yang terjadi di bangsa ini dan semuanya menyangkut dengan ketidakadilan terhadap kaum kecil, baik yang terjadi di masa lalu maupun yang sampai detik ini pun masih terjadi. Di negeri yang tengah carut-marut ini masih banyak sekali kasus pelanggaran HAM yang bukan saja belum terungkap dan ditangani secara hukum dan adil, tetapi juga belum ditulis dan dipublikasikan. Tulisan-tulisan mengenai HAM dalam buku ini mau mengajak masyarakat agar dapat mengetahui dan belajar dari kasus-kasus tersebut dan menjadi penghormatan atas HAM sebagai praksis hidup.
        Indonesia, khususnya di era Orde Baru merupakan salah satu Negara di dunia yang termasuk dalam kategori pelanggar HAM berperingkat tinggi. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya proses pelanggaran HAM di Indonesia, antara lain adanya defisit demokrasi dan perwakilan yang semu. Artinya kebebasan tidak hanya diukur melalui kebebasan sipil yang sudah diperjuangkan di negeri ini, namun juga diukur dari bagaimana supremasi hukum dapat dirasakan masyarakat. Keadilan seakan bisa “dibeli” oleh kekuasaan. Para pejabat terpilih pun ternyata tidak mewakili dan memperjuangkan kepentingan mayoritas masyarakat yang miskin dan berkekurangan.
         Dari keprihatinan tersebut, terdapat kelompok-kelompok yang memperjuangkan adanya keadilan di bangsa ini. Mereka tak henti-hentinya menyerukan penegakan HAM. Pada dasarnya indikator utama Hak Asasi Manusia adalah diputuskannya lingkaran Impunitas, yakni warisan dari periode rezim otoritarian, di mana pelanggar hak asasi manusia tidak dapat dibawa ke pengadilan, karena kekuasaan mereka yang menghalangi hukum ditegakkan. Dengan diputuskannya lingkaran impunitas tersebut diharapkan keadilan di Indonesia tidak sebatas pada teori, namun lebih kepada praktek di lapangan.
Sejauh mana Gereja Indonesia menyikapi masalah ini?
       Pada awalnya Gereja memang antipati dalam urusan HAM karena memang HAM identik dengan urusan politik. Namun itu terjadi pada ratusan tahun silam di mana Gereja masih menjadi sebuah “panggung kekuasaan” yang sulit ditembus karena memang pada masa lalu Gereja sangat dekat dengan para penguasa yang notabene adalah para pelaku tindak kekerasan HAM. Gereja tidak ingin ikut campur dengan masalah HAM. Baru sesudah konsili vatikan II, Gereja bukan lagi menjadi “penguasa” tapi lebih sebagai sebuah “paguyuban” yang sangat terbuka dengan adanya kasus pelanggaran HAM.
    Sehubungan dengan wawasan HAM, panggilan gereja bukanlah semata-mata agar menjadi ecclesia docens (gereja yang mengajar), tetapi juga sebagai ecclesia discerns (gereja yang belajar). Dalam perumpamaan orang Samaria yang baik hati, Yesus menerobos keluar (out of the box) dari ketegangan di antara partikularisme dan universalisme di dalam yang terdapat dalam agama-agama dan menekankan pada universalitas berupa kesetaraan manusia. Dalam perumpamaan itu digambarkan HAM tidak hanya diperjuangkan dari bangsa, ras, dan suku yang sama. Seorang Samaria yang dikatakan sebagai musuh orang Yahudi pun mau untuk mengulurkan tangannya demi orang Yahudi yang menderita. Tindakan orang Samaria ini menggerakkan kita untuk memandang HAM sebagai sesuatu yang universal, yang mengatakan bahwa HAM tidak hanya milik golongan tertentu.
      Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri, adalah panggilan untuk menghargai martabat sesama manusia. Seperti yang dikatakan oleh Yesus, yang sering disebut sebagai Golden rule, “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat padamu, perbuatlah demikian kepada mereka,” (Luk 6:31). Ajakan Yesus ini adalah ajakan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia itu sendiri. Alkitab melihat fungsi hukum itu, bukan sebagai pembatas, tetapi yang member kebebasan kepada manusia untuk menegakkan hak asasinya. Tidak ada penghargaan yang lebih besar untuk sesama, selain daripada kasih.
     Melihat kenyataan yang seperti ini, memang tak dapat dipungkiri bahwa Gereja harus berbuat sesuatu. Penegakan HAM adalah sesuatu yang penting. Tugas memperjuangkan hak-hak tersebut merupakan sebuah panggilan. Janganlah kita menutup mata akan kasus-kasus penyelewengan HAM dalam negeri ini. Kasus-kasus tersebut tidak boleh didiamkan karena negara kita maunya menjadi negara beradab dan negara beradab tidak melakukan yang dilakukan negara kita kepada korban-korban ketidakadilan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan proses penegakan HAM adalah sesuatu yang baik. Dengan adanya proses itu, kita ingin menghadirkan Kristus yang hadir menyertai umat-Nya. Pertanyaan yang muncul adalah, sejauh mana aku menjadi Alter Christus yang hadir untuk memperjuangkan keadilan, menjadi perpanjangan tangan kasih Tuhan untuk mewartakan kasih kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir itu?
We hold that these truths be self evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights
(John Locke)

0 comments: