Di Indonesia, konflik menjadi sesuatu yang sangat sering sekali
terjadi. Maklum sebagai manusia yang mempunyai ideologi yang berbeda-beda
pastilah masing-masing pribadi berusaha untuk mewujudkan ideologinya. Usaha
manusia itu seringkali menimbulkan ketidaksesuaian dari pribadi lain yang
merasa terancam atas usaha orang lain tersebut. Ketidaksesuaian antara kedua
individu maupun kelompok tersebut menimbulkan konflik yang pasti berujung pada
kerugian di salah satu pihak.Namun, berbagai upaya telah dilakukan untuk
mencegah konflik tesebut. Setiap individu pasti pernah mengalami konflik, entah
sebagai subjek maupun sebagai objek penderita. Namun, seringkali konflik yang
terjadi tidak kita sadari sebagai sebuah kekerasan yang dapat merugikan diri
sendiri maupun orang lain. Kekerasan berarti perbuatan seseorang atau
sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau
menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[1]
Konflik dapat mengakibatkan banyak dampak bagi pelaku maupun orang lain. Menjadi
sebuah keuntungan bagi pihak yang menang, namun bagi pihak yang kalah, konflik
menjadi sebuah malapetaka. Lebih buruknya lagi bila konflik tersebut telah
memberikan kerugian yang cukup besar bagi mereka yang tidak bersalah. Tetapi,
secara umum, konflik adalah perbuatan yang buruk dan tidak patut untuk
dilakukan. Sekalipun pihak yang menang itu merasa bangga atas tindakannya, hal
ini tidak menjamin bahwa dirinya secara bersih selamat dari luka fisik maupun
psikis.
Konflik di Indonesia telah menjadi makanan sehari-hari yang selalu
bisa “dinikmati” oleh masyarakat. Tidak hanya dari lapisan bawah, konflik juga
sering terjadi di antara para pemimpin bangsa. Contohnya adalah konflik yang
terjadi antara Polisi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terjadi
beberapa waktu lalu. Konflik ini telah membuka tabir bahwa di kalangan aparat
hukum pun, proses pelanggaran hukum bisa terjadi. Usaha pemerintah untuk
meluruskan konflik ini seakan menjadi boomerang sendiri karena dengan
terbukanya kasus konflik antara polisi dengan KPK terbukalah kebobrokan yang
selama ini terjadi dalam birokrasi pemerintahan Indonesia.
Belum lama ini, masyarakat juga diserbu kabar dari media massa mengenai konflik kepentingan dalam tubuh partai Demokrat yang berlandaskan masalah korupsi. Tidak hanya partai Demokrat, berbagai konflik juga terjadi dalam pemerintahan secara menyeluruh, baik itu eksekutif, yudikatif, ataupun legislatif.
Konflik di Indonesia juga terjadi dalam elemen masyarakat bawah. Hal
ini dikarenakan pandangan masyarakat Indonesia yang masih sempit atas
keberadaannya sebagai anggota Negara
yang berbeda ragamnya. Contohnya saja konflik yang terjadi di Poso
beberapa tahun yang lalu. Kasus kerusuhan yang terjadi antara kaum muslim dan
nasrani ini lebih memperlihatkan ketidakdewasaan masyarakat Indonesia yang
terlalu egois dengan kepentingannya sendiri. Usaha pemerintah untuk
menanggulangi masalah ini juga tidak begitu baik. Aparat keamanan selaku
penengah justru menjadi ancaman baru bagi kedua belah pihak. Tindakan polisi
dan TNI yang semena-mena dan melanggar HAM menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap peran pemerintah dalam menyelesaikan konflik. Misalnya saja
ketika aparat keamanan membunuh warga sipil yang tidak terlibat dalam kasus kekerasan
di Poso dan yang terbaru adalah di Mesuji. Mungkin kasus konflik di Poso dan Mesuji adalah sepercik kasus dari sekian banyak
konflik yang terjadi di bumi Indonesia ini. Pemerintah belum sepenuhnya
mengambil peran yang sungguh-sunggu baik dalam mengupayakan penyelesaian
konflik. Seharusnya, pemerintah melihat dahulu akar penyebab masalah konflik,
setelah itu baru menyusun strategi unutuk menyelesaikan konflik yang
berkecamuk.
Konflik di Indonesia telah menimbulkan luka bagi sebagian
masyarakat, terutama yang mengalami sendiri konflik tersebut. Ribuan jiwa telah
hilang seiring dengan serentetan peristiwa konflik yang terjadi dari tahun ke
tahun. Rupanya, pemerintah pun belum terlalu tanggap dengan konflik-konflik
yang ada. Penanganan yang dilakukan pemerintah belum memberikan kepuasan yang
maksimal dalam masyarakat. Kita bisa mengambil contoh bahwa peran polisi
sesunggunya adalah sebagai pengayom masyarakat. Tetapi pandangan masyarakat
sendiri terhadap polisi sudah mencerminkan adanya ketidakpercayaan kepada pihak
kepolisian, meskipun pandangan ini tidak bisa dipukul rata terhadap semua
masyarakat di Indonesia.
Dari waktu ke waktu, konflik dirasakan sebagai suatu yang biasa.
Masyarakat sudah terlalu bosan dengan situasi yang terjadi dalam birokrasi
pemerintahan ssat ini. Pasti ada saja masalah yang timbul dari para pemimpin
bangsa dan aparatnya. Masalah korupsi yang telah menjamur menjadi masaslah yang
tak kunjung bisa diselesaikan dengan baik. Rupanya para pemegang kekuasaan
tidak bisa lagi dikatakan sebagai pengayom masyarakat yang adil. Mentalitas mereka
terbentuk sebagai seorang yang haus akan kekuasaan, sampai-sampai dalam proses
penyelesain konflik di elemen masyarakat bawah, beberapa penguasa n egara
menggunakan konflik itu sebagai lading yang subur untuk memperkaya diri.
Konflik yang terjadi di Indonesia tak lepas dari masalah-masalah yang terjadi
dalam pemerintahan. Para penguasa berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan
yang sebesar-besarnya dari konflik yang berkecamuk, seperti yang terjadi dalam
kasus kerusuhan di Poso di mana beberapa pejabat terbukti melakukan korupsi
atas dana yang seharusnya menjadi hak dari para korban konflik.
Konflik di Indonesia pasti akan terus bermunculan. Yang dibutuhkan
saat ini adalah kesadaran dari para pejabat pemerintahan yang sungguh-sungguh
menjalankan perannya sebagai wakil rakyat dan penengah di dalamnya. Sudah
banyak konflik di Indonesia berjalan tanpa disertai penyelesaian yang baik.
Pemerintah harus sungguh-sungguh mengamalkan janjinya. Konflik akan terus
bermunculan dan pemerintah diharapkan dapat menyelesaikan konflik-konflik
tersebut, tentu dengan bantuan dari masyarakat sendiri. Sudah cukup Indonesia
sebagai Negara merdeka mempunyai birokrasi pemerintahan yang buruk dengan
segala tindakanya. Sekarang saatnya Indonesia bangkit. Lewat generasi penentu
bangsa saat ini, mari merubah Indonesia menjadi negeri yang lebih beradab dan
merdeka!
[1] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Depdiknas.1998. Kamus
Besar Bahasa Indonesia
.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
RI, Hal
425