Ketika
sang surya mengintip dalam peraduannya dan embun pagi masih terasa segar, di
tepi pantai pasir putih, seorang lelaki paruh baya sedang asik menghisap
rokoknya. Lamunannya melayang hingga melewati ruang dan waktu. Desiran ombak
semakin membuatnya terbang tinggi menembus angannya yang tak kunjung tiba.
Bratasena
duduk terdiam. Matanya menatap lurus ke arah matahari yang sebentar lagi
meninggalkan pantai. Hidup memang tidak bisa diduga, segala yang terjadi tidak
bisa diprediksi sebelumnya. Seperti pasir yang terdampar di tepi pantai,
kehidupan juga memiliki makna yang tak dapat dihitung dengan tepat. Hukum
relativisme ternyata memang mewarnai setiap lekuk kehidupan. Brata, seorang
anak preman tak kuasa menahan tangis dalam sepinya. Semua yang terjadi dalam
hidup ini bukan kebetulan, pikirnya.
“Brata,
sedang apa kamu di sini?” tanya Pandu tiba-tiba. Brata segera menghapus air
mata yang sempat terjatuh membasahi lekuk pipinya.
“Nggak,
gak ada apa-apa kok,” jawab Brata berusaha menutupi apa yang sesungguhnya
terjadi.
“Sudahlah,
coba kamu ceritakan apa masalahmu. Tadi aku lihat kok kamu menangis,” kata
Pandu kepada Brata melihat temannya seperti sedang berada dalam kesulitan.
“Begini
Du, aku bingung mengapa orang seperti aku bisa-bisanya tertarik untuk menjadi
seorang pastur. Padahal latar belakan kehidupanku seperti ini, bisa dikatakan
sebagai orang yang tidak baik. Kerjaku hanya mabuk-mabukan dan melakukan
hal-hal lain yang hanya memuaskan nafsuku saja,” Brata mencoba menguraikan
permasalahnya perlahan.
Menjadi
seorang pastur memang bukan perkara biasa. Tradisi Katolik yang begitu baku
mengharuskan seorang Pastur memiliki tiga kaul yakni kaul ketaatan, kemiskinan
dan keperawanan. Jadi memang tidak masuk akal bila seorang Brata yang memiliki
latar belakang yang buruk bisa memiliki rasa untuk menjadi seorang pastur.
Matahari
sudah tidak lagi menampakkan sinarnya, namun Brata dan Pandu masih duduk di
tepi pantai. Mereka bercakap-cakap satu sama lain.
“Pandu,
bagaimana kalo aku masuk biara?” tanya Brata kepada Pandu yang sudah menjadi
temannya dari kecil hingga saat ini.
“Kamu
yakin Brat?”
“Sesuatu
jika tidak dicoba sama saja sia-sia, Du.”
“Bukan
begitu juga, keyakinan itu modal penting untuk melangkah lebih jauh ke depan.”
“Ya
benar sih, tapi hati gak pernah salah Du. Aku ingin masuk biara untuk
setidaknya mendengar suara hati niraniku sendiri.”
“Baiklah,
coba kamu tanya dulu pada orangtuamu,” nasihat Pandu yang ternyata menjadi awal
bagi Brata untuk melihat ke dunia yang tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh
Brata.
Keheningan
adalah keramaian abadi yang pernah ada. Ketika seorang hening, maka dengan itu
ia akan berada dalam keramaian yang tak ada batasnya. Di sanalah kekayaan abadi
berada, dalam keheningan. Brata pun perlahan menyadarinya. Ia sering berada
dalam keheningan di tepi pantai. Rumahnya yang tidak jauh dari pantai itulah
yang membuatnya memilih pantai menjadi tempat yang paling nyaman untuk
berefleksi.
Kehidupan
ini begitu kompleks. Dosa adalah sesuatu yang pasti dilakukan oleh tiap
manusia. Brata sadar bahwa dirinya adalah manusia yang buruk. Masa lalu yang
suram sangat berpengaruh terhadap dirinya saat ini. Brata dibesarkan dalam
keluarga yang tidak jelas. Sampai saat
ini ia pun tidak tahu siapa ibu kandungnya. Ia dibesarkan oleh ayahnya
yang dikenal sebagai seorang preman.
Waktu
berlalu begitu cepat dan di suatu senja di mana Brata selalu duduk termenung
menatap matahari yang hendak dalam peraduannya, datanglah seroang gadis menhampiri
Brata.
“Hai,
masih kenal aku gak?” tanya gadis itu kepada Brata.
“Dewi?”
“Iya,
masa kamu lupa?”
“Bener
ini Dewi?”
“Iya,
ini aku Dewi yang dulu kamu tolong saat aku tenggelam. Masa kamu lupa.”
“Aku
ingat kok Wi. Bagaimana sekarang
kabarnya?” tanya Brata kepada Dewi.
“Aku
baik-baik saja kok. Sebenarnya aku mau ke sini ingin berbicara kepadamu Brata,”
jawab Dewi yang membuat Brata bingung. Tidak biasanya ada perempuan yang kenal
padanya namun sekarang ada seorang gadis yang berada sangat dekat dengannya.
“Ada
apa Wi?” tanya Brata dengan hati yang bertanya-tanya. Bersamaan dengan matahari
yang tinggal sepucuk saja menyembul mungil di garis horizon, Dewi mencium pipi
Brata. Tidak ada suara. Semua terbawa pada emosi masing masing. Saat itu adaah
saat yang paling dikenang oleh Dewi sebelum semuanya tak menjadi miliknya lagi.
Cinta
adalah suatu misteri. Tidak seorang pun di dunia ini yang tidak luput dari yang
namanya cinta karena manusia memang diciptakan secara eksistensial bersamaan
dengan lahirnya cinta itu sendiri. Senja itu menjadi abu-abu bagi Dewi karena
sejak saat itu Brata, seorang yang liar namun memiliki hati bagai samudera
memberikan sedikit harapan padanya namun ada sesuatu yang menutupi perasaannya
kepada Dewi, yakni impiannya, cita-citanya, keinginannya, sebuah rasa untuk
menjadi alat bagi Tuhan di dunia ini.
“Mengapa
kamu menciumku?” tanya Brata kepada Dewi sesaat setelah semuanya kembali kea
lam sadar mereka. Desiran angin senja membawa segala perasaan Dewi kepada
langit, ingin rasanya memuntahkan rasa yang memang mengalir di hatinya untuk
Brata setelah setengah tahun yang lalu Brata menolong Dewi yang tenggelam
terseret ombak yang begitu besar. Sejak saat itu, Dewi memiliki cinta yang sulit
untuk diungkapkannya. Hari-harinya dihabiskan di tepi pantai untuk sekedar
memandang Brata dari kejauhan.
“Brata,
Aku mencintaimu,” jawab Dewi dengan hati yang berdebar. Setelah setengah tahun
lamanya ia ingin sekali mengungkapkan kalimat itu kepada Brata, akhirnya hari
ini hal itu terjadi. Sesuatu yang menjadi impian Dewi, bersama Brata menjalani
kehidupan yang memang sarat dengan tanda tanya.
“Mengapa
baru sekarang kamu berkata padaku, Wi?”
“Memang
kenapa? Terlalu lama yah?”
“Untuk
saat ini ada sebuah rasa yang bergejolak dalam hatiku. Mungkin kamu pun tidak
menduga perasaan yang ada padaku. Dahulu, setengah tahun yang lalu aku memang
menyadari sebuah rasa yang tak bisa kudefinisikan padamu. Ada sebuah rasa
bagiku untuk memilikimu, namun aku sadar bahwa aku manusia yang penuh dengan
kekuarangan. Aku tak pantas untukmu, Wi,” ungkap Brata menjelaskan perasaannya
dahulu kala.
“Maaf
untuk itu Brat, aku tak kuasa mengungkapkan rasaku padamu. Aku begitu naïf
sehingga aku hanya bisa berada jauh, mengambil jarak denganmu. Sebenarnya
hari-hariku pun kuhabiskan di tempat ini. Memandangmu dari kejauhan. Aku tak
punya nyali yang besar untuk berada di dekatmu,” kata Dewi dengan nada
terbata-bata. Ia merasa terharu ketika mengetahui bahwa setengah tahun yang
lalu Brata punya rasa yang sama dengannya, namun itu setengah tahun yang lalu.
Bagaimana dengan sekarang? Apakah Brata tetap mencitaiku? Apakah Brata memiliki
rasa cinta yang sama kepadaku? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di kepala Dewi,
sulit rasanya untuk tidak menahan butiran-butiran air mata yang mulai menetes
menuruni setiap lekuk pipinya.
“Maafkan
aku Wi, aku tidak tahu harus berbuat apa. Seiring berjalannya waktu perasaanku
padamu tenggelam bersamaan dengan derai air di pantai ini menuju samudera luas.
Aku tak lagi seperti dulu yang mempunyai perasaan itu. Terima kasih bila kamu
mau jujur padaku pada hari ini. Namun sekali lagi maaf karena aku mempunyai
cinta lain yang begitu kuat menarikku hingga tak kuasa bagiku untuk menolaknya,”
jelas Brata kepada Dewi yang perlahan mengambil jarak dengan Brata.
“Iya
aku tahu, Brat. Ini memang salahku. Aku harus menunggu begitu lama untuk
memiliki keberanian mengatakan hal ini padamu. Memang cinta itu tidak bisa
dipaksakan sekaligus harus dipaksakan. Lebih baik aku mengatakan hal ini padamu
daripada aku menahannya lebih lama lagi. Aku mengerti kok Brat bahwa memang sulit mengharapkan cinta yang tak kunjung
datang. Terima kasih karena pernah
mencintaiku,” kata Dewi dengan penuh gejolak jiwa.
“Terima
kasih juga karena boleh mencintaimu. Perasaan hanyalah sebuah bias yang tidak
bisa untuk dipungkiri. Aku tahu bahwa rasa itu tidak pernah berbohong. Maafkan
aku Wi, hal ini terlalu sulit bagiku karena ada kekuatan lain yang lebih besar
dari rasa cinta itu sendiri. Aku memutuskan untuk menjadi seorang Pastur
meskipun aku juga memiliki rasa itu padamu,” jelas Brata. Mendengar perkataan
itu, Dewi pun kaget karena tidak mengira alasan Brata menolak cintanya. Dia
tahu bahwa menjadi seorang Pastur adalah sebuah hal yang sangat jarang terjadi.
Hari
telah menjadi gelap dan dua insan tetap duduk berdampingan memandang ombak yang
perlahan semakin pasang. Bulan purnama telah menggantikan sang surya yang
sedang tertidur pulas di belahan bumi yang lain. Malam itu adalah malam yang
penuh dengan kasih mesra seorang calon Pastur kepada seorang wanita yang duduk
di sampingnya. Mungkin ini adalah malam terakhir baginya untuk berada di dekat
seorang wanita dengan perasaan cinta yang tak terselami. Memang cinta begitu
rumit untuk dirumuskan karena memang tak
ada ilmu pasti yang dapat menjangkaunya. Cinta seperti samudera yang tak
mungkin dapat ditampung oleh pikiran yang hanya sebesar botol. Cinta begitu
luas dan tak terbendung maknanya. Biarah sang Pencipta cinta yang tahu dengan
jelas siapa cinta itu sendiri.
“Maafkan
aku ya Wi, keputusanku sudah bulat.
Aku merasa terpanggil untuk menjadi seorang Pastur. Perasaan itu tak bisa lagi
kututup-tutupi. Ada hal tak terlihat yang selalu memanggilku untuk meninggalkan
segala yang kupunya demi segala yang akan kuperoleh dalam kebahagiaanku menjadi
seorang Pastur. Maafkan aku sekali lagi,Wi,” begitulah Brata mencoba
menguraikan segala perasaannya untuk menjadi seorang Pastur.
Dewi
tak kuasa menahan tangis yang semakin lama semakin menjadi. Namun ia sadar
bahwa perasaannya bertepuk sebelah tangan. Cintanya tak lagi disambut oleh
cinta seorang Brata tetapi ia sekarang mengerti bahwa cinta itu seperti anak
panah yang dilepas. Jika anak panah itu selalu berada dalam busurnya ia tidak
akan pernah tahu kemana arah tujuan hidupnya sekaligus menyesengsarakan
busurnya itu karena harus menahannya, namun ketika anak panah itu dilepas ia
akan mencari sendiri jalan hidupnya dan itu membuat busur lega meskipun arah
anak panah itu tidak sesuai dengan kehendaknya.
“Brata,
aku mengerti kok dengan ini semua.
Tidak ada yang bisa menghalangimu untuk sebuah cita-cita itu. Aku tidak mungkin
bersaing dengan Tuhan yang telah mencintaimu lebih dahulu dari pada aku. Terima
kasih ya Brat karena kamu boleh menjadi bagian dalam hari-hariku. Mungkin ini
malam terakhir bagi kita untuk berdua bersama menikmati pantai yang indah dan
penuh kenangan ini. Terima kasih, Brat,” ungkap Dewi yang memang mengerti akan
perasaan Brata yang begitu luhur.
Keras,
total dan merdeka adalah sifat yang selalu dimiliki dalam cinta. Ia begitu
keras melebihi batu apapun, total dalam berprinsip dan merdeka dalam bertindak.
Sejak saat itu Brata pun semakin yakin dengan pilihannya untuk menjadi seorang
Pastur. Dengan kemerdekaannya ia telah memutuskan suatu yang berbeda dengan
kebanyakan orang. Ia ingin mengabdi seutuhnya kepada Tuhan yang telah
mencintainya jauh sebelum dunia dijadikan.
Delapan
tahun kemudian Dewi kembali berjumpa dengan Brata. Saat ini situasinya telah
berbeda. Di hadapan Brata, terlihat seorang lelaki yang ingin menerima
berkatnya untuk kelasngsungan hubungan yang lebih jauh, Brata memberikan
sakramen perkawinan kepada Dewi dan calon suaminya. Dengan kebesaran hati Brata
menjalankan tugasnya sebagai wakil Tuhan dengan amat baik. Ia tak lagi terbuai
dengan masa lalunya dengan Dewi.
“Terima
kasih ya Romo Brata. Aku sungguh bahagia hari ini karena telah menerima
sakramen yang selamanya akan aku pegang teguh,” ungkap Dewi kepada Brata seusai
misa perkawinan itu.
“Tetaplah
berada di jalan Tuhan. Cintailah suamimu seperti kamu mencintai dirimu sendiri.
Selamat menempuh hari yang baru semoga kamu selalu mengalami kebahagiaan yang
selama ini kamu cari.”
“Terima
kasih Romo Brata, aku akan selalu pegang janjiku.”
“Amin.”