”Hidup Korban! Jangan diam! Hidup Korban! Lawan!
Jangan diam!”
Teriakan-teriakan menuntut keadilan menggema di
depan Istana Negara sore itu. Beberapa orang berpakaian hitam dengan atribut-atributnya
tampak berkumpul, berorasi, dan berefleksi. Foto-foto digelar, payung-payung
bertuliskan keadilan erat digenggam, sorot mata tertuju pada bayang sang
Presiden.
Cuaca sedikit mendung, langit gelap, tapi tak
sedikit pun memadamkan semangat para pejuang keadilan ini. Mereka adalah para para
aktivis dan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu. Semboyan “Menolak
Lupa” adalah roh yang diangkat. Hari Kamis dipilih menjadi hari keramat untuk
mendobrak tirani kekuasaan. Tragedi 65, tragedi Talangsari, tragedi Tanjung
Priok, tragedi 27 Juli 1996, tragedi Penculikan, tragedi Trisakti, tragedi Mei
1998, tragedi Semanggi I, tragedi Semanggi II, dan peristiwa pembunuhan Munir
menjadi sekian dari banyaknya pelatuk aksi Kamisan ini.
Seketika mata saya tertuju pada seorang wanita tua
berambut putih. Ia tampak kokoh berdiri menghadap istana meski tubuhnya kurus
dengan kulit yang sudah mulai keriput. Sayup matanya sudah mulai lebam namun
menunjukkan sorot yang tajam. Tingginya tak lebih dari 160 sentimeter dengan
dress hitam yang melekat padanya. Sebuah payung hitam bertuliskan “tuntaskan
tragedi semanggi II” digenggamnya erat.
“Aksi ini berawal ketika kami para korban dan
keluarga korban membentuk Jaringan Solidaritas Korban Untuk Keadilan atau JSKK.
Pada saat itu saya dan Ibu Yun Hap berencana mengadakan aksi mengelilingi
Bundaran HI setiap minggu. Seiring berjalannya waktu kami memutuskan mengadakan
kamisan di depan istana Negara,” ujar Sumarsih, ibunda BR. Norma Irawan, salah
satu korban penembakan tragedi 1998 yang sekaligus presidium JSKK.
B.R Norma
Irawan atau biasa disebut Wawan adalah satu dari sekian banyak korban
pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah kepada rakyat sipil. JSKK bersama
dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) seringkali
mengadakan aksi menuntut keadilan Hak Asasi Manusia di tanah air. Sampai saat
ini, masih banyak kasus-kasus yang masih menjadi tanda tanya, tanpa ada
kejelasan dari pihak pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Berbeda dengan para aktivis kebanyakan, saat itu ia
memakai baju berwarna merah, bersyal abu-abu, dan menggenggam payung
bertuliskan “stop impunitas”, berkoar-koar atas nama keadilan. Namanya sangat
santer setelah suaminya meninggal dengan penyebab yang tidak jelas. Tidak lain
adalah Suciwati, istri dari Munir, seorang pejuang Hak Asasi Manusia di bumi
nusantara.
Ada lagi seorang pria tua, berumur kisaran 70 tahun,
memakai baju hitam dan sandal selop khas Jawa. Kulitnya bermandi keriput sawo
matang, menggenggam secarik kertas dan berteriak-teriak menghadap istana. Ia
bercerita mengenai kisah Bung Karno dan Pak Harto pada jaman Partai Komunis
Indonesia, bagaimana keluarganya menjadi korban pembunuhan yang mengatasnamakan
pembubaran PKI, menyulut api keadilan di bumi Purworejo.
Empat puluh lima menit berlalu, aksi berlanjut pada
refleksi bersama. Para aktivis dan korban
pelanggaran HAM membuat sebuah lingkaran. Tidak besar, kecil tapi bernyali
besar. Hening. Hanya suara kendaraan yang terdengar lalu lalang. Perlahan,
semua benar-benar hening. Masing-masing keluarga korban seperti menghadirkan
orang-orang yang disayangi, yang mati tanpa ada kelanjutan bukti.
Cahaya matahari mulai temaram. Langit menjadi biru
kekuningan. Senja telah datang. Lingkaran kecil itu kini menjadi lingkaran makna. Semangat atas nama keadilan memancar
dalam setiap sorot mata.
“Mari kita tetap menjaga asa untuk memperjuangkan
keadilan! Meski tanpa suami saya, kita akan terus berjuang! Saya ingin generasi
muda menjadi corong dalam perjuangan HAM di negeri ini! Hidup Korban!” ujar
Suciwati.
Badannya tegap, berambut agak cepak, memakai jaket
abu-abu dengan kacamata kotak. Dengan tas hitam di pudak, ia terlihat berbisik dengan Suciwati. Ialah
Usman Hamid. Berdiri sebagai garda pelindung keadilan di Indonesia. Bersama
kawan-kawan lain berjuang menerobos birokrat demi tegaknya Hak Asasi Manusia.
Aksi sore itu akhirnya selesai. Semua merapatkan
barisan. Langkah kaki menyatu menghadap istana. Sebuah teriakan lantang
menggema serempak, ”Hidup Korban! Jangan diam! Hidup Korban! Lawan! Jangan
diam!”